Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kain Batik, Ringkasan Materi TVRI Belajar dari Rumah 4 Mei SMP

Kompas.com - Diperbarui 05/01/2022, 12:12 WIB
Arum Sutrisni Putri

Penulis

KOMPAS.com - Kain batik merupakan busana dengan cita rasa seni disetiap sudutnya. Kain batik menjadi identitas busana daerah, bahkan setiap motifnya tersimpan arti dan sejarahnya. 

Pada program Belajar dari Rumah yang ditayangkan TVRI pada Senin, 4 Mei 2020 untuk SMP atau MTS dan sederajat membahas mengenai kain batik

Kain batik

Sesungguhnya batik bukan sekadar selembar kain unik yang diberi motif, busana ini ini menyimpan filosofi tentang ketekunan, kegigihan, serta kebanggaan.

Batik berasal dari dua kata yaitu ambo dan titik. Satu pola yang indah yang bisa menjadikan sebuah gambar yang bisa menceritakan keindahan alam, keindahan sekitar yang dituangkan di batik.

Sebagai orang Jawa, budaya kita harus bisa membatik, jadi kita tidak bisa meninggalkan budaya batik karena peninggalan leluhur.

Baca juga: Upaya untuk Melestarikan Batik Nusantara agar Bersaing di Era Globalisasi

Sejarah batik di Indonesia begitu panjang. Awalnya tradisi membatik merupakan tradisi di Keraton. Karena itu motif batik Keraton penuh filosofi kehidupan.

Dari Keraton busana adiluhung itu melebar ke lingkungan sekitar atau keluarga ningrat. Abdi dalem Keraton yang kemudian membawa tradisi batik benar-benar keluar dari lingkungan Keraton.

Berdasarkan budayawan Keraton Kasunan Surakarta, Kanjeng Pangeran Winarnokusumo, batik sudah ada sebelum Keraton Surakarta. Kain batik sudah ada turun temurun Majapahit, Demak, Pajang, hingga Surakarta. 

Corak-corak kain batik 

Berikut beberapa corak-corak kain batik: 

Parang Kusumo

Zaman Panembahan Senopati atau Sutowijoyo, dibuat corak batik yang bernama Parang Kusumo. Parang Kusumo itu coraknya miring dan ada falsafahnya. Dipakai khusus untuk keluarga raja atau bangsawan, tidak sembarangan orang bisa memakai motif Parang.

Batik motif Parang dasarnya hitam dan coklat serta ada warna putihnya. Falsafah batik motif Parang adalah dalam dunia ini ada gelap ada terang, ada susah ada senang.

Baca juga: Mengapa Melestarikan Batik sebagai Wujud Cinta Tanah Air?

Truntum

Pada masa Pakubuwono III, istrinya (prameswari) membuat corak bernama Truntum. Truntum seperti gambaran bintang bertaburan di langit. Itu menggambarkan bahwa walaupun dalam keadaan gelap, sekedip bintang bisa menerangi, artinya dalam kegelapan ada terang.

Tradisi turun-temurun

Di kampung Laweyan Solo tradisi membatik diajarkan turun-menurun. Tidak ada latihan formal agar seseorang bisa membatik. Di kampung inilah muncul motif batik yang sangat berbeda dengan motif batik Keraton.

Pemerhati batik, Alpha Fabela Priyatmono menjelaskan, di Laweyan sebetulnya tradisi membatik sudah ada sejak zaman Ki Ageng Henis, salah satu keturunan Raja Brawijaya V yang kemudian menetap di Laweyan. Pada 1500-an tradisi batik sudah ada.

Meski di Laweyan pada waktu itu lebih banyak beraktivitas di bidang industri tenun. Karena pada waktu itu di sekitar kerajaan Pajang, di Laweyan ini banyak hutan kapas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com