KOMPAS.com - Di antara Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia mengalami dualisme kepemimpinan.
Dualisme kepemimpinan terjadi ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan, sementara Soekarno masih menjabat sebagai presiden.
Di awal 1966, kondisi politik bergejolak. Soekarno diprotes keras karena G30S dan perekonomian yang memburuk.
Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran terjadi di depan Istana Negara. Demonstrasi ini didukung tentara.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.
Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.
Baca juga: Latar Belakang Supersemar
Surat itu dikenal sebagai Supersemar. Isinya, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk:
Supersemar bertujan mengatasi situasi saat itu. Pada praktiknya, Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR. Keputusan tersebut yakni:
Baca juga: Supersemar, Tonggak Lahirnya Orde Baru
Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak. Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.
Dikutip dari Hari-hari Yang Panjang: Transisi Orde Lama Ke Orde Baru, Sebuah Memoar (2008), dualisme kepemimpinan memunculkan polarisasi.
Ada yang setuju dengan Soeharto untuk membubarkan. Namun ada juga yang masih setia kepada Soekarno.
Memasuki pertengahan 1966, masalah dualisme kepemimpinan nasional makin terasa.
Soekarno tidak lagi bisa mencabut Supersemar ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966.
Saat itu, MPRS mencabut Soekarno sebagai presiden seumur hidup sekaligus memberi kewenangan Soeharto sebagai pengemban Supersemar untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang MPRS.
Baca juga: Peristiwa Penting Era Orde Baru