Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN), pemerintah menggunakan standar harga yang sudah ditetapkan.
Namun, hal tersebut bisa berubah seiring berjalannya waktu.
Ketika terjadi inflasi tak terduga, maka beban biaya untuk berbagai program pemerintah juga akan meningkat. Sedangkan anggarannya sudah ditetapkan.
Baca juga: Defisit APBN Rp 369,8 Triliun Per November 2019, Ini Kata Sri Mulyani
Sehingga APBN mengalami revisi dan pemerintah harus mengeluarkan kas lebih besar lagi.
Pemotongan biaya sering dilakukan pada beberapa program karena penerimaan negara tidak sesuai target.
Hal ini mengakibatkan program tidak berjalan maksimal dan setiap tahun pemerintah harus menutup kekurangan tersebut.
Secara umum defisit anggaran mampu memberikan dampak buruk bagi sebuah negara maupun skala organisasi. Dampak tersebut atara lain:
Keadaan defisit dapat dilihat dari kecenderungan naiknya harga kebutuhan pokok atau inflasi.
Hal ini bisa terjadi ketika pemerintah melakukan pengeluaran untuk program jangka panjang yang belum menghasilkan.
Baca juga: Neraca Dagang Defisit 1,33 Miliar Dollar AS, Kepala BPS Imbau RI Perlu Hati-hati
Ditandai dengan kurangnya pengeluaran karena penerimaan yang lebih sedikit. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah harus menambah modal.
Dengan keadaan inflasi, mampu mengurangi pendapatan riil masyarakat. Hal ini membuat masyarakat mengurangui tingkat konsumsi dan tabungannya.
Padahal peran penting tabungan adalah untuk mendorong investasi.
Penurunan tingkat investasi juga berdampak pada peningkatan angka pengangguran.
Suku bunga meningkat dan penurunan investasi akan membuat proyek berhenti. Di mana sebuah proyek pasti memiliki banyak pekerja yang harus dikurangi.
Dari situ resmi Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rasio pajak dan tingkat kepatuhan pajak di Indonesia bisa menghidari atau mengatasi defisit anggaran jika rasionya tinggi.
Baca juga: Jelang Tutup Anggaran 2019, Serapan APBD DKI 74 Persen