Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Piagam Jakarta: Isi dan Kontroversinya

Pada pertengahan 1945, para tokoh nasional, Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno masing-masing punya versi dasar negara.

Mereka juga menyepakati rumusan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam perkembangannya, Piagam Jakarta tak jadi digunakan.

Piagam Jakarta menimbulkan kontroversi sejarah hingga hari ini. Apa yang sebenarnya dimuat dalam Piagam Jakarta?

Asal mula Piagam Jakarta

Dikutip dari Piagam Jakarta (2010), Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia antara golongan nasionalis dengan golongan Islam.

Di sidang pertamanya, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merumuskan bentuk pemerintahan melalui pemungutan suara.

Ada 45 suara yang memilih kebangsaan sebagai dasar negara. Sementara 15 suara memilih Islam sebagai dasar negara.

Setelah sidang pertama, dibentuklah Panitia Sembilan yang mengakomodasi golongan nasionalis dengan golongan Islam.

Panitia Sembilan beranggotakan:

  1. Soekarno (Ketua)
  2. Moh Hatta (Wakil Ketua)
  3. Achmad Soebardjo (Anggota)
  4. Moh Yamin (Anggota)
  5. KH Wahid Hasyim (Anggota)
  6. Abdul Kahar Muzakir (Anggota)
  7. Abikoesno Tjokrosoejoso (Anggota)
  8. Agus Salim (Anggota)
  9. AA Maramis (Anggota)

Panitia Sembilan merancang teks proklamasi, yang kemudian dijadikan preambule atau pembukaan UUD 1945.

Rancangan preambule yang dikenal sebagai Piagam Jakarta itu disetujui pada 22 Juni 1945. Nama Piagam Jakarta diusulkan oleh Moh Yamin. Soekarno membacakannya pada 10 Juli 1945.

Naskah Piagam Jakarta

Piagam Jakarta berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Djakarta, 22-6-1945

Panitia Sembilan

Kontroversi Piagam Jakarta

Piagam Jakarta memang dijadikan Pembukaan UUD 1945. Namun ada tujuh kata yang dihapus.

Tujuh kata itu yakni, "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Penghapusan tujuh kata itu dari Pembukaan UUD 1945 terjadi setelah proklamasi kemerdekaan.

Pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, Moh Hatta didatangi oleh Maeda, seorang perwira angkatan laut Jepang.

Maeda menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia bagian Timur atas pemakaian kata-kata tersebut, sebab berarti rumusan itu tidak berlaku bagi pemeluk agama lain.

Untuk menghindari perpecahan, esoknya sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Hatta berbincang dengan tokoh-tokoh Islam.

Mereka setuju untuk menghilangkan kata-kata tersebut dan menggantinya dengan kata "Yang Maha Esa", dengan rumusannya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Kesepakatan ini diterima oleh sidang PPKI. Piagam Jakarta yang sudah mengalami perubahan itu ditetapkan sebagai pembukaan UUD 1945.

"Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam," demikian penjelasan seperti dikutip dari Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam (2011).

Alasan perubahan sila pertama dasar negara dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebelum disahkan menjadi dasar negara adalah karena adanya keberatan dari tokoh-tokoh non-Islam terhadap bunyi pasal ”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Keputusan dihapuskannya kata "syariat Islam" akhirnya diprotes sebagian kecil umat Islam.

Sebagian kelompok masih berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.

Ada kelompok yang kemudian mengekspresikannya dengan bentuk pemberontakan bersenjata. Misalnya, pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII/NII.

Upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga diperjuangkan melalui jalur politik.

Dalam sidang-sidang konstituante di Bandung pada periode 1956-1959, misalnya, sejumlah partai yang berasaskan Islam berupaya memperjuangkan berlakunya syariat Islam sebagai dasar negara RI.

https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/07/100000769/piagam-jakarta-isi-dan-kontroversinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke