Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Isi Serat Wulangreh Pupuh Dhandhanggula

Kompas.com - 24/04/2024, 21:30 WIB
Eliza Naviana Damayanti,
Serafica Gischa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Serat Wulangreh Pupuh Dhandhanggula adalah salah satu karya sastra tembang macapat yang berasal dari Jawa. 

Macapat memiliki nilai historis karena pesan yang disampaikan melalui teksnya dan nilai estetis karena pengolahan teks ke dalam cengkok tembang. Serat Wulangreh berasal dari dua kata Wulang berarti ajaran, dan Reh berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti jalan, aturan, dan cara untuk mencapai tujuan

Serat Wulangreh memiliki makna didaktis, yaitu pelajaran tentang etika dan budi pekerti yang harus diterapkan dalam masyarakat.

Saat menjadi Raja Kasunanan Surakarta dari tahun 1788–1820, Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV menulis sebuah serat. Serat ini memberikan pelajaran moral kepada orang-orang Jawa yang beragama Islam.

Untuk menyampaikan berbagai wulang, Pupuh Dhandhanggula dianggap mempesona, luwes, sejuk, dan serba pas. Berikut beberapa pelajaran yang ditemukan dalam Pupuh Dhandhanggula:

  • Orang harus memahami arti hidup dan menjalaninya dengan baik.
  • Mereka juga harus mengamalkan nilai-nilai Al-Qur'an.
  • Hidup mereka didasarkan pada hadits, ijmak (pendapat para ulama), kiyas (alasan yang didasarkan pada persamaan atau perbandingan tentang hukum Islam), dan dalil, setidaknya salah satu di antaranya.
  • Orang harus selalu mencari pendidikan dan guru sejati, tidak seperti guru-guru yang berusaha keras untuk mendapatkan siswa.

Baca juga: 11 Tembang Macapat: Arti, Guru Gatra, Guru Wilangan, dan Guru Lagu

Serat Wulangreh dari Pupuh Dhandhanggula

Yuk, simak Serat Wulangreh dari Pupuh Dhandhanggula!

  1. Pamedare wasitaning ati, cumanthaka aniru Pujangga, dhahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan wruh yen keh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita.
    (Uraian nasihat ini bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga, padahal (aku) sangatlah bodoh. Tetapi karena ingin disanjung, tidak tahu jika kelak banyak yang mencibir. Memaksakan diri untuk menciptakan, (meski) dengan bahasa yang kacau balau bahkan tersia-sia, namun (hal ini) kususun dengan teliti dan sabar, semoga isyarat ini menjadi jelas)
  2. Sasmitaning ngaurip puniki, apan ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
    (Isyarat dalam kehidupan ini, tidak mungkin kau pahami jika kau tak mengetahuinya, tidak akan memiliki ketenangan dalam hidupnya. Banyak yang mengaku dirinya sudah memahami isyarat (dalam hidup), padahal belum mengolah rasa, inti dari rasa yang sesunguhnya. Oleh karena itu, berusahalah (memahami makna rasa itu), agar sempurna hidupmu)
  3. Jroning Kur’an nggonira sayekti, nanging ta pilih ingkang uninga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, temah sasar-susur, yen sira ayun waskita, sampurnane ing badanira, punika sira anggegurua.
    (Di dalam Al-Quran tempatmu mencari kebenaran sejati, hanya yang terpilih yang akan memahaminya ,kecuali atas petunjuk-Nya. Tiadk boleh dicampur-adukan, tak mungkin kau temukan (kebenaran isyarat), bahakan kau semakin tersesat. Jika kau menghendaki kesempurnaan dalam dirimu, maka bergurulah)
  4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sukur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
    (Meskipun begitu, jika engkau berguru, Nak. Pilihlah guru yang sebenarnya, tinggi martabatnya, memahami hukum, dan rajin beribadah. Syukur-syukurjika kau temukan seorang pertapa yang tekun dan tidak mengharapkan imbalan orang lain, dia pantas kau gurui. Serta ketahuilah)
  5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang, prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, myang kiyase papat iku salah siji, anaa kang mupakat.
    (Jika seseorang berbicara tentang ilmu, tetapi tidak sesuai dengan empat hal, janganlah engkau terlalu cepat menganggap benar adanya. Saringlah agar bening dan ukurlah dengan empat hal, yaitu dalil, hadis, ijmak, dan kiyas. Salah satu dari keempat hal itu harus ada yang sesuai)
  6. Nora kena lamun den antepi, yen ucula sing patang prakara, nora enak legetane, tan wurung ningal wektu, panganggepe wus angengkoki, nora kudu sembahyang, wus salat katengsun, banjure mbuwang sarengat, batal karam nora nganggo den singgahi, bubrah sakehing tata.
    (Tidak boleh kau terima (isyarat) jika lepas dari empat hal tadi, karena biasanya tidak baik. (kau akan) merasa sudah menjalankan ‘laku’ sehingga yidak harus sembahyang, akhirnya meninggalkan syariat, tidak perlu tahu mana yang haram dan batal. Hal itu akan merusak aturan)
  7. Angel temen ing jaman mangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong njaja ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawene sarak, den arani luput, nanging iya sasenengan, nora kena den uwor kareping janmi, papancene priyangga.
    (Memang sulit mencari seseorang yang patut kau gurui di zaman ini. Banyak yang menjajakan ilmu tetapi jarang yang mengikutinya. Jika seseorang berilmu dan menjalankan lakunya dengan benar, malah  dianggap salah. Namun itu hak masing-masing, tidak boleh kau samakan keinginan orang, masing-masing memiliki perbedaan)
  8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, apan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik tingale, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang padha ngupaya, kudu anggeguru, samengko iki tan nora, Kyai Guru naruthuk ngupaya murid, dadiya kanthinira.
    (Yang biasa terjadi pada masa kini adalah guru yang mencari murid, itu tampak sangat ironis dengan kebiasaan yang terjadi di masa lalu. Zaman dulu murid yang berusaha mencari dan harus berguru, sekarang tidak begitu, malah guru yang ke sana ke mari mencari murid. Jadikan sebagai pengangan (kanthinira merupakan isyarat pola tembang berikutnya, yaitu Kinanthi)).

Baca juga: 7 Contoh Tembang Macapat Gambuh dalam Bahasa Jawa

Referensi:

  • Luqmanto, S. I. (2016). Konsep Pendidikan Akhlaq Pada Syair Tembang Dhandhanggula dalam Serat Wulangreh Karya Pakubuwana IV. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
  • Setiawan, S. a. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Serat Wulang Reh Pupuh Dhandhanggula Karya Sri Susuhan Paku Buwana IV yang Bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com