Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serat Wulangreh Pupuh Megatruh

Kompas.com - 24/04/2024, 19:30 WIB
Eliza Naviana Damayanti,
Serafica Gischa

Tim Redaksi

KOMPAS.com Serat Wulangreh merupakan salah satu karya sastra dalam bahasa Jawa yang terkenal. Karya ini ditulis oleh Ronggowarsito, seorang penyair dan sejarawan Jawa yang hidup pada 

Serat Wulangreh telah menjadi bagian penting dari warisan sastra Jawa dan masih dipelajari dan diapresiasi oleh para peneliti dan pecinta sastra hingga saat ini.

Megatruh merupakan penggabungan dari dua kata yaitu megat dan ruh, yang mana arti dari megat adalah berpisah. Maka arti dari megatruh adalah terpisahnya nyawa atau ruh dari jasadnya. Terlepasnya ruh merupakan proses dari menuju keabadina. Entah itu surga atau dineraka tergantung amal perbuatan kita di dunia.

Karakter watak yang terdapat pada tembang megatruh adalah menggambarkan tentang kesedihan dan duka cita. Biasanya menggambarkan rasa putus asa dan kehilangan harapan.

Baca juga: Serat Wulangreh Pupuh Durma

Berikut adalah Serat Wulangreh dari tembang Megatruh!

  1. Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang gusti, dipunmiturut sapakon.
    (Mengabdi kepada raja memang amat repot, tidak boleh ragu-ragu dan harus mantap, serta setia dan percaya kepada raja)
  2. Mapan ratu kinarya wakil hyang agung, marentahaken hukum adil, pramila wajib den enut, sing sapa tan manut ugi, ing parentahe sang katong.
    (Bukankah raja adalah wakil yang mahaagung, yang menjalankan hukum dan keadilan sehingga harus ditaati. Barang siapa yang tidak menuruti perintah sang raja)
  3. Aprasasat mbadali karseng hyang agung, mulane babo wong urip, saparsa suwiteng ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh.
    (Ibarat ingkar dari yang mahaagung. Oleh karena itu, setiap yang mengabdi kepada raja harus ikhlas lahir batrin agar tidak mendapat kesulitan)
  4. Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angur sira ngabdi, becik ngidunga karuhun, aja age nuli ngabdi, yen durung eklas ing batos.
    (Di belakang hari. Jika hati belum bulat, jangan kau mengabdi, lebih baik jika menumpang tinggal dulu jangan kemudian mengabdi jika batin belum pasrah)
  5. Anggur ngindung bae pan nora pakewuh, lan nora nana kang ngiri, amungkul pakaryanipun, nora susah tungguk kemit, seba apan nora nganggo.
    (Lebih baik menumpang tinggal agar tidak susah dan tidak ada ayang memerintah, tekun bekerja, tidak perlu bertugas jaga, bahkan tidak perlu menghadap)
  6. Mung yen ana tongtonan metu ing lurung, kemul bebede sasisih, sarwi mbanda tanganipun, glindhang-glindhung tanpa keris, andhodhok pinggiring bango.
    (Cuma jika ada keramaian tontonan di jalan, keluar dengan kain bebed sebelah sambil bersilang tangan, hilir mudik tanpa keris, duduk di pinggir warung)
  7. Suprandene jroning tyas, anglir tumenggung, mengku bawat senen kemis, mankono iku liripun, nora kaya wong ngabdi, wruh plataraning sang katong.
    (Meskipun demikian, di dalam hatinya merasa sebagai seorang tumenggung yang berpatyung kebesaran. Sikap seperti itu bukanlah sikap pengabdi yang setiap hari hanya melikat halaman istana)
  8. Lan keringan sarta ana aranipun, lan ana lungguhe ugi, ing salungguh-lungguhipun, nanging ta dipunpakeling, mulane pinardi kang wong.
    (Yang terhormat, memiliki gelar dan kedudukan. Tetapi ingat, orang yang mengabdi itu harus memperhatikan)
  9. Samubarang karyanira sang aprabu, sayekti kudu nglakoni, sapalakartine iku, wong kang padha-padha ngabdi, panggaweyane pan saos.
    (Seluruh perintah raja harus dilaksanakan, karena kewajiban mengabdi adalah menghadap dan menantikan perintah raja)
  10. Kang nyantana bupati mantri panewu, kliwon peneket miji, panalaweyan pananjung, tanapi para prajurit, lan kang nambut karyeng katong.
    (Baik yang mengadi sebagai bupati, mantra, penewu, kliwon, peneket, miji, panalawe, pananjung, maupun prajurit dan yang bekerja pada raja)
  11. Kabeh iku kawajiban sebanipun, ing dina kang amarengi, wiyosanira sang aprabu, sanadyan tan miyos ugi, pasebane aja towong.
    (Semua memiliki kewajiban untuk menghadap pada hari yang bersamaan pada saat raja bersidang. Sekalipun tidak ikut bersidang, jangan (dijadikan alasan untuk) tidak menghadap)
  12. Ingkang lumrah yen karep seba wong iku, nuli ganjaran den icih, yen tan oleh nuli mutung, iku sewu sisip, yen wus mangerti ingkang wong.
    (Biasanya, orang yang rajin menghadap itu mengharapkan mendapat hadiah, jika tidak mendapat hadiah, ia ngambek. (sikap seperti itu) keliru bagi orang yang bijak)
  13. Tan mangkono etunge kang uwis weruh, ganjaran datan pinikir, ganjaran pan wus rumuhun, amung naur sihing gusti, winales ing lair batos.
    (Bagi yang sudah mengetahui, perhitungannya tidak begitu, masalah hadiah tidak dipikirkan, karena hadiah sebenarnya sudah diterima terlebih dahulu, sehingga tinggal membalas kebaikan raja dengan lahir batin)
  14. Setya tuhu marang saprentahe pan manut, ywa lenggana karseng gusti, wong ngawula paminipun, lir sarah mungging jaladri, darma lumampah sapakon.
    (Melaksanakan segala perintah raja. Jangan membantah kehendak raja. Orang mengabdi ibarat sampah di samudra, hanya sekedar menjalankan)
  15. Dene begja cilaka utawa luhur, asor iku pan wus pasthi, ana ing bebadanira, aja sok amuring muring, marang gusti sang akatong.
    (Adapun kebahagiaan dan kesengsaraan, ataupun tinggi rendah tergantung pada takdir masing-masing, jangan suka marak kepada raja)
  16. Mundhak ngakehaken ing luputireku, ing gusti tuwin hyang widdhi, dene ta sabeneripun, mupusa kalamun pasthi, ing badan tan kena megoh.
    (Hal itu akan menambah kesalahan kepada raja serta yang mahakuasa. Yang benar adalah menerima takdir diri, jangan berdiam diri)
  17. Tulisane ing lohkil makful kang rumuhun, pepancen sawiji-wiji, tan kena owah sarambut, tulisan badan puniki, aja na mundur ing kewoh.
    (Yang sudah tersurat dalam laukhil makfudz tidak dapat diubah barang serambutpun, oleh karena itu jangan mundur meghadapinya (mundur adalah isyarat pola tembang berikutnya, yaitu durma))

Baca juga: Serat Wulangreh Pupuh Kinanthi

Referensi:

  • Panani, S. Y. (2019). Serat Wulangreh: Ajaran Keutamaan Moral Membangun Pribadi yang Luhur. Jurnal Filsafat, Vol. 29, No. 2.
  • Nurhayati, E. (2010). Nilai-nilai Moral Islam dalam Serat Wulangreh. Millah, Vol. X, No. 1.
  • Widiyono, Y. (2010). Kajian Tema, Nilai Estetika, dan Pendidikan dalam Serat Wulangreh Karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com