Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Menuju Generasi Emas: Stunting Istilah dan Dampaknya

Kompas.com - 25/01/2024, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bila dilihat dari prevalensi nasional, dalam selang waktu empat tahun, penurunan prevalensi mencapai 9,2 persen sebagai angka yang cukup fantastis, terlebih kita mengalami masalah pandemi Covid-19 pada tahun 2019-2021.

Hasil SSGI menunjukkan, dalam kurun waktu satu tahun (2021-2022) penurunan prevalensi nasional sebesar 2,8 persen.

Angka-angka yang disampaikan di sini merupakan data agregat untuk Indonesia. Namun, bila kita analisis secara lebih mendalam dari hasil SSGI 2022, tidak semua kabupaten/kota mengalami penurunan.

Untuk wilayah Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan yang juga signifikan, yaitu 5,1 persen dan 3,8 persen.

Kondisi stunting rawan terjadi sejak lahir, dan pada usia ketika anak mulai pengenalan makanan pendamping ASI hingga usia 3 tahun, dan agak bertahan hingga usia 5 tahun.

Prevalensi stunting berdasarkan kelompok umur menurut data SSGI 2022 menunjukkan, Usia 0-5 bulan (11,7 persen), 6-11 bulan (13,7 persen), 12-23 bulan (22,4 persen). 24-35 bulan (26,2 persen), 36-47 bulan (22,5 persen), 48-59 (20,4 persen).

Angka ini menunjukkan, distribusi angka tertinggi terjadi ketika anak berusia 2 hingga 3 tahun.

Baca juga: Siklus Ikan, Maggot, Unggas, dan Tanaman Disebut Bisa Jadi Alternatif Penurunan stunting

Konsekuensi logis terjadi, jika anak mengalami stunting pada awal pertumbuhannya, maka intervensi segera sangat dibutuhkan agar anak dapat mengejar pertumbuhannya, terutama pertumbuhan otak yang masih terus berlangsung.

Upaya pemerintah sejauh ini sudah tepat. Untuk intervensi gizi spesifik sudah lebih mengerucut dalam siklus kehidupan yakni: pada remaja dilakukan skrining anemia dan pemberian tablet tambah darah; ibu hamil diberikan tablet tambah darah dan makanan tambahan bila ibu hamil mengalami masalah kurang energi dan protein.

Pada Balita intervensi dilakukan melalui penimbangan berat badan dan pemantauan pertumbuhan; bayi disusui secara eksklusif dan ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun, pemberian makanan pendamping ASI secara optimal, dan tambahan protein hewani bila berat badan anak tidak naik atau bahkan turun.

Tata laksana kasus gizi diberikan bila anak mengalami penurunan berat badan secara berturut-turut 2 kali ketika ditimbang, dan dilakukan rujukan ke dokter/RS. Penyuluhan dan edukasi terkait Kesehatan lingkungan diberikan kepada masyarakat secara lebih luas.

Pencegahan stunting harus dimulai dari keluarga dengan melibatkan pemberdayaan masyarakat. Pemberian asupan gizi yang optimal menjadi unsur utama pada keluarga.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengolahan lahan dan pelestarian pangan lokal dibantu dengan proses pengolahan (melalui teknologi dan inovasi menu) dapat menjadi upaya yang perlu segera dieja-wantahkan.

Sehingga, budaya konsumsi makanan/pangan sebagai bagian dari fondasi sehat dapat mengkristal dan masyarakat menjadi mandiri tanpa harus tergantung pada produk-produk pangan impor yang notabene lebih banyak tersaji sebagai makanan pabrikan dan mengandung tinggi kalori, dan kurang sehat.

Baca juga: Menkes Budi Beberkan Upaya Tangani stunting di Indonesia, Apa Saja?

What next?

Upaya penanganan stunting sesuai kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkan (integrative, holistic, tematik, dan konvergen) perlu dilakukan dengan serius dan disesuaikan dengan karakter masyarakat lokal.

Pelibatan Masyarakat untuk menolong dirinya sendiri perlu dibangun melalui konsep dari dan untuk Masyarakat dengan memanfaatkan dana desa yang sudah dialokasikan oleh pemerintah.

Pemberdayaan masyarakat dalam budidaya pangan lokal perlu dibangkitkan kembali.

Hal ini juga terkait dengan adanya perubahan iklim, yaitu ketika sebagian tanaman pangan mungkin tidak kuat bertahan, sehingga ada opsi pangan lain (sejenis umbi-umbian) yang mungkin dapat dilestarikan dan disosialisasikan kembali pemanfaatannya, agar Masyarakat tidak sampai menjadi kelaparan akibat ketergantungan pada satu jenis pangan (misalnya beras).

Satu hal positif yang juga perlu menjadi pertimbangan adalah pemanfaatan pangan sehat atau bukan olahan pabrik yang biasanya mengandung kadar gula garam dan lemak (GGL) yang tinggi.

Risiko dari konsumsi makanan pabrikan tinggi GGL adalah sebagai pemicu terjadinya penyakit tidak menular seperti kegemukan, hipertensi, penyakit diabetes, jantung, dan kanker yang memiliki beban biaya tinggi atau katastropik.

Pemikiran logisnya, tidak ada masalah juga bila produksi pangan kemasan pabrik dikonsumsi, namun mungkin perlu diatur dalam penggunaan dan konsumsinya mengingat risiko tersebut di atas.

Baca juga: Jika Tak Ditangani Secara Tepat, Bayi Prematur Berisiko Alami stunting

Pangan olahan pabrikan tetap memiliki aspek positif karena lebih awet, mudah disajikan, memiliki rasa yang cocok dilidah, serta murah. Pangan pabrikan terutama akan sangat bermanfaat pada kondisi terjadinya kondisi darurat dan bencana.

Target tercapainya Generasi Emas pada tahun 2045 tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat secara umum, termasuk pelaku usaha, akademisi, dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat.

Indonesia harus memperkuat fondasi sehat masyarakat melalui integrasi program yang terstruktur dan capaian yang mudah diukur.

Ni Ketut Aryastami
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi – BRIN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com