Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menuju Generasi Emas: Stunting Istilah dan Dampaknya

Oleh: Ni Ketut Aryastami

stunting merupakan masalah gizi yang menjadi issue strategis dalam kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia menuju generasi emas 2045.

Masalah ini tampaknya menjadi semakin rumit tatkala konsep dasar permasalahan tidak difahami secara benar dan upaya pencegahan dan penanggulangannya masih dijadikan sebagai isu politik, khususnya menyamgkut penurunan masalah dengan pengalokasian anggaran yang tidak sedikit.

Mengapa stunting?

Kejadian stunting pada Balita membutuhkan proses yang cukup lama.

Awal permasalahan stunting dapat terjadi di dalam kandungan, di mana ibu mengalami masalah gizi kronis (yang dapat terjadi sejak Balita) ataupun masalah gizi akut, yang dapat terjadi ketika ibu sedang hamil mengalami masalah seperti sakit atau depresi sehingga mengganggu kesehatannya dan berimplikasi pada tidak optimalnya pertambahan berat badan dalam kehamilan.

Kondisi ini dapat menghambat transfer makanan ibu-janin via plasenta untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin.

Indikasi terjadinya gangguan pertumbuhan janin dari perspektif gizi terlihat ketika bayi lahir mengalami berat badan lahir rendah atau kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 48 cm, atau lahir secara premature (misal akibat defisiensi zat besi).

Outcome kelahiran seperti ini membutuhkan perhatian yang serius agar bayi dapat mengejar tumbuh kembangnya (catch up growth).

Kementerian Kesehatan menyatakan pencegahan stunting jauh lebih efektif daripada pengobatan stunting.

Upaya pencegahan stunting dapat dilakukan melalui upaya promotive dan preventif dan di bidang Kesehatan Masyarakat bahkan jauh sebelum bayi terlahir, sementara pengobatan stunting memasuki ranah klinis medis melalui fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam intervensi masalah stunting dikenal istilah intervensi sensitif dan intervensi spesifik.

Intervensi sensitif yaitu intervensi yang dilakukan dari berbagai faktor yang tidak secara langsung berhubungan dengan masalah gizi (baca: stunting).

Sementara intervensi spesifik yaitu intervensi yang dilakukan dan membawa dampak langsung kepada status gizi anak.

Misalnya, memberikan makanan tambahan dan asupan gizi sesuai kebutuhannya, memberikan imunisasi sebagai benteng imunitas, memberikan tablet besi pada ibu hamil, dan lain-lain, yang dalam hal ini menjadi bagian teknis dari Kementerian Kesehatan dan jajarannya.

Intervensi gizi sensitif adalah intervensi yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya stunting melalui keterlibatan multi sektor seperti meningkatkan status ekonomi masyarakat, memberikan edukasi gizi pada keluarga, ketersediaan pangan di masyarakat, kesehatan lingkungan, ketersediaan air bersih, dll.

Indikator stunting dan pemahaman

Tidak banyak yang memahami masalah stunting secara mendasar. Stunting secara pertumbuhan dapat dilihat dari ukuran tubuh anak yang pendek dibandingkan dengan ukuran tubuh rata-rata anak seusianya.

Ada faktor lain yang bisa diobservasi dalam tumbuh kembang anak, yaitu kecerdasan anak yang juga lebih rendah dari kelompoknya. Kondisi ini yang menyebabkan Indonesia berjuang keras untuk mempercepat penurunan prevalensi stunting.

Banyak yang belum dipahami oleh kader dan petugas, ketika seorang ibu menolak anaknya dikatakan stunting dan tidak mau mengambil intervensi yang disediakan karena ibu merasa anaknya tumbuh cerdas meskipun ukuran tubuhnya pendek.

Secara teoritis, faktor keturunan atau genetik memang tidak bisa diabaikan, yang menurut hasil penelitian tumbuh pendek karena faktor genetik berkisa 15-20 persen.

Pertumbuhan stunting akan menjadi jelas bila pengukuran pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berjalan seiring.

Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, khususnya untuk masyarakat Indonesia, yang sedang dipersiapkan oleh peneliti BRIN.

Stunting juga dapat terjadi pada anak yang ketika lahirnya memiliki berat dan panjang badan optimal. Hal ini dapat terjadi terkait dengan perawatan dan pola asuh.

Yang dimaksud perawatan di sini antara lain memberikan Air Susu Ibu secara benar (ASI eksklusif) yaitu memberikan ASI saja sejak lahir hingga usia enam bulan, memberikan imunisasi dasar secara lengkap dan tepat waktu, menjaga lingkungan yang bersih sehingga terhindar dari risiko penyakit, dan lain-lain, serta memberikan asupan gizi yang optimal ketika anak sudah memasuki tahap pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) atau setelah usia 6 bulan.

Hal yang juga perlu diperhatikan dan disepakati adalah penggunaan istilah stunting dalam program.

Banyak praktisi yang masih bingung dengan istilah stunting dan stunted, termasuk istilah kerdil dan tengkes yang sering digunakan untuk menyebut stunting oleh program bahkan oleh Harian Kompas.

Stunting adalah istilah yang digunakan untuk merujuk ukuran tinggi badan menurut umur dibawah rata-rata alias pendek.

Stunted adalah sebuah kondisi yang merujuk pada anak yang sudah pendek dan kemungkinan mengalami gangguan dalam perkembangannya akibat adanya faktor penyebab lain seperti penyakit infeksi berulang hingga risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM) ketika dewasa.

Kata stunting dan stunted ini berasal dari Bahasa inggris yang memiliki gramatika kata kerja (tenses) terhadap peristiwa yang terjadi.

Dibaca dari literatur, stunting senantiasa digunakan bila merujuk pada angka kejadian di masyarakat (prevalensi) dan faktor risiko yang bisa berlanjut. Sedangkan stunted lebih kepada ukuran tubuh yang pendek secara individu.

Bahasa Indonesia memiliki karakter yang cukup fleksibel dan banyak mengadopsi istilah asing yang sudah umum. Untuk itu, istilah stunting mungkin cukup tepat diadopsi dalam upaya intervensi dan percepatan penurunan stunting agar tidak membingungkan.

Harian Kompas sering kali menggunakan kata tengkes, yang belum banyak dipahami pembaca maupun para profesional. Bahkan ketika ditelusur ke kamus Bahasa Indonesia melalui link google juga tidak ditemukan.

Sebaliknya pengambil kebijakan juga sering menggunakan istilah kerdil dalam penyebutan stunting. Kerdil merupakan kondisi pendek, secara rata-rata tinggi badannya sekitar 122 cm.

Pertumbuhan kerdil terjadi karena adanya gangguan kromosom dan hormon pertumbuhan terkait atau dengan faktor genetik.

Berbeda dengan anak stunting, anak yang kerdil mungkin lebih tepatnya cebol sering juga memiliki pertumbuhan fisik yang tidak optimal (misal kaki dan lengan yang pendek).

Dengan demikian istilah kerdil juga kurang tepat dan perlu dikoreksi dan disepakati secara lebih tegas.

Dalam upaya percepatan penurunan stunting, indikator tinggi badan menurut umur dapat menjadi fokus sebagai risiko stunting karena multi faktoral di masyarakat mencapai 80 persen.

Tentu kita tidak bisa menafikan penyebab tidak langsung (ketersediaan pangan, pola asuh, dan faktor lingkungan) dan penyebab mendasarnya (ideologi, politik, ekonomi, social, dan budaya).

Banyak fenomena yang tampak terkait capaian pemerintah dalam percepatan penurunan stunting; misalnya klaim sebuah kota/kabupaten yang menyatakan penurunan angka stunting yang signifikan, yang sangat mungkin menggunakan indicator ukur yang kurang tepat atau kesalahan data.

Untuk itu, pemerintah memang perlu mengembangkan alat ukur yang cukup valid dan stabil agar angka yang telah dicapai oleh pemerintah kota/kabupaten dapat terus diturunkan, dan bukan sebaliknya, tiba-tiba menjadi tinggi lagi.

Kebijakan Pemerintah dalam percepatan perbaikan gizi

Kebijakan pemerintah dalam percepatan perbaikan gizi dan penurunan stunting tersebut dalam empat Peraturan Presiden, yaitu Perpres no. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, Perpres no. 83/2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi, Perpres no. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024 dan Perpres no. 72/2021 tentang Percepatan Penurunan stunting.

Percepatan penurunan stunting merupakan program strategis yang bersifat holistik dalam siklus kehidupan melalui pemenuhan asupan gizi, memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses dan mutu pelayanan Kesehatan, ketersediaan air bersih dan Kesehatan lingkungan.

Bappenas menyebutkan upaya percepatan penurunan stunting bersifat integrative dan saling melengkapi antar sektor terkait, tematik sesuai dengan tupoksi sektoral, dan konvergen memiliki hubungan yang terarah dari pusat hingga daerah, termasuk dalam pemanfaatan anggaran.

Skema ini mudah didesain, tetapi implementasinya sangat tidak mudah terlebih masih adanya ego sektoral yang tidak bisa dinafikan dan kontrol sosial maupun monitoring dan evaluasi dari stake holders.

Hasil penelitian yang pernah dilakukan terkait integrasi dan konvergensi menunjukkan, perbedaan kepentingan antar sektor terhadap tupoksinya menjadi kendala tersendiri.

Umumnya konvergensi anggaran akan lebih mudah terjadi bila pejabat penentu anggaran (sekretaris daerah) memiliki pengetahuan dan perhatian yang cukup terhadap kesehatan masyarakatnya.

Untuk itu memang masih dibutuhkan indikator yang kuat dan cukup stabil dalam menilai keberhasilan upaya percepatan penurunan stunting, terlepas dari capaian sesaat untuk menaikkan derajat keberhasilan pemerintah lokal.

Pemikiran prospektif bisa dicoba dengan memposisikan indikator ukur Kewenangan Standard Pelayanan Minimal (KW-SPM) di tingkat provinsi untuk semua kabupaten yang ada di wilayahnya.

Berbagai capaian dan akselerasisi telah disampaikan oleh daerah, namun perlu diperhatikan, apakah pemerintah daerah tersebut mampu menyelaraskan upaya pencegahan agar keberhasilan yang telah dicapai dapat berkesinambungan hingga masalah stunting benar-benar turun menjadi kurang dari 10 persen (rujukan WHO prevalensi stunting rendah adalah 2.5-10 persen) dari populasi Balita.

Fakta dalam angka keberhasilan penurunan prevalensi stunting

Stunting menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) 2018 memiliki prevalensi sebesar 30,8 persen, atau turun sebanyak 6,4 persen dari tahun 2013.

Kegiatan Riskesdas yang dilakukan secara rutin setiap lima tahun dapat memberikan potret capaian indikator program dan status Kesehatan Masyarakat secara umum. Kegiatan Riskesdas terhenti sejak adanya peralihan Lembaga penelitian ke Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

Namun demikian terkait Upaya percepatan penurunan stunting menuju generasi emas, penelitian gizi masih tetap berjalan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Badan Pembangunan Kebijakan Kesehatan).

Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), penurunan prevalensi stunting cukup signifikan dari 30,8 persen (Riskesdas 2018) menjadi 24,4 persen (SSGI 2021) dan 21,6 persen (SSGI 2022).

Bila dilihat dari prevalensi nasional, dalam selang waktu empat tahun, penurunan prevalensi mencapai 9,2 persen sebagai angka yang cukup fantastis, terlebih kita mengalami masalah pandemi Covid-19 pada tahun 2019-2021.

Hasil SSGI menunjukkan, dalam kurun waktu satu tahun (2021-2022) penurunan prevalensi nasional sebesar 2,8 persen.

Angka-angka yang disampaikan di sini merupakan data agregat untuk Indonesia. Namun, bila kita analisis secara lebih mendalam dari hasil SSGI 2022, tidak semua kabupaten/kota mengalami penurunan.

Untuk wilayah Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan yang juga signifikan, yaitu 5,1 persen dan 3,8 persen.

Kondisi stunting rawan terjadi sejak lahir, dan pada usia ketika anak mulai pengenalan makanan pendamping ASI hingga usia 3 tahun, dan agak bertahan hingga usia 5 tahun.

Prevalensi stunting berdasarkan kelompok umur menurut data SSGI 2022 menunjukkan, Usia 0-5 bulan (11,7 persen), 6-11 bulan (13,7 persen), 12-23 bulan (22,4 persen). 24-35 bulan (26,2 persen), 36-47 bulan (22,5 persen), 48-59 (20,4 persen).

Angka ini menunjukkan, distribusi angka tertinggi terjadi ketika anak berusia 2 hingga 3 tahun.

Konsekuensi logis terjadi, jika anak mengalami stunting pada awal pertumbuhannya, maka intervensi segera sangat dibutuhkan agar anak dapat mengejar pertumbuhannya, terutama pertumbuhan otak yang masih terus berlangsung.

Upaya pemerintah sejauh ini sudah tepat. Untuk intervensi gizi spesifik sudah lebih mengerucut dalam siklus kehidupan yakni: pada remaja dilakukan skrining anemia dan pemberian tablet tambah darah; ibu hamil diberikan tablet tambah darah dan makanan tambahan bila ibu hamil mengalami masalah kurang energi dan protein.

Pada Balita intervensi dilakukan melalui penimbangan berat badan dan pemantauan pertumbuhan; bayi disusui secara eksklusif dan ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun, pemberian makanan pendamping ASI secara optimal, dan tambahan protein hewani bila berat badan anak tidak naik atau bahkan turun.

Tata laksana kasus gizi diberikan bila anak mengalami penurunan berat badan secara berturut-turut 2 kali ketika ditimbang, dan dilakukan rujukan ke dokter/RS. Penyuluhan dan edukasi terkait Kesehatan lingkungan diberikan kepada masyarakat secara lebih luas.

Pencegahan stunting harus dimulai dari keluarga dengan melibatkan pemberdayaan masyarakat. Pemberian asupan gizi yang optimal menjadi unsur utama pada keluarga.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengolahan lahan dan pelestarian pangan lokal dibantu dengan proses pengolahan (melalui teknologi dan inovasi menu) dapat menjadi upaya yang perlu segera dieja-wantahkan.

Sehingga, budaya konsumsi makanan/pangan sebagai bagian dari fondasi sehat dapat mengkristal dan masyarakat menjadi mandiri tanpa harus tergantung pada produk-produk pangan impor yang notabene lebih banyak tersaji sebagai makanan pabrikan dan mengandung tinggi kalori, dan kurang sehat.

What next?

Upaya penanganan stunting sesuai kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkan (integrative, holistic, tematik, dan konvergen) perlu dilakukan dengan serius dan disesuaikan dengan karakter masyarakat lokal.

Pelibatan Masyarakat untuk menolong dirinya sendiri perlu dibangun melalui konsep dari dan untuk Masyarakat dengan memanfaatkan dana desa yang sudah dialokasikan oleh pemerintah.

Pemberdayaan masyarakat dalam budidaya pangan lokal perlu dibangkitkan kembali.

Hal ini juga terkait dengan adanya perubahan iklim, yaitu ketika sebagian tanaman pangan mungkin tidak kuat bertahan, sehingga ada opsi pangan lain (sejenis umbi-umbian) yang mungkin dapat dilestarikan dan disosialisasikan kembali pemanfaatannya, agar Masyarakat tidak sampai menjadi kelaparan akibat ketergantungan pada satu jenis pangan (misalnya beras).

Satu hal positif yang juga perlu menjadi pertimbangan adalah pemanfaatan pangan sehat atau bukan olahan pabrik yang biasanya mengandung kadar gula garam dan lemak (GGL) yang tinggi.

Risiko dari konsumsi makanan pabrikan tinggi GGL adalah sebagai pemicu terjadinya penyakit tidak menular seperti kegemukan, hipertensi, penyakit diabetes, jantung, dan kanker yang memiliki beban biaya tinggi atau katastropik.

Pemikiran logisnya, tidak ada masalah juga bila produksi pangan kemasan pabrik dikonsumsi, namun mungkin perlu diatur dalam penggunaan dan konsumsinya mengingat risiko tersebut di atas.

Pangan olahan pabrikan tetap memiliki aspek positif karena lebih awet, mudah disajikan, memiliki rasa yang cocok dilidah, serta murah. Pangan pabrikan terutama akan sangat bermanfaat pada kondisi terjadinya kondisi darurat dan bencana.

Target tercapainya Generasi Emas pada tahun 2045 tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat secara umum, termasuk pelaku usaha, akademisi, dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat.

Indonesia harus memperkuat fondasi sehat masyarakat melalui integrasi program yang terstruktur dan capaian yang mudah diukur.

Ni Ketut Aryastami
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi – BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2024/01/25/100000823/menuju-generasi-emas-stunting-istilah-dan-dampaknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke