Oleh: Yayan Hadiyan, S.Hut, M.Sc.
PRESIDEN Joko Widodo, yang kebetulan seorang Rimbawan, turut memerintahkan langsung kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Bukit Teletubbies Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), segera dipadamkan.
Keprihatinan mendalam pemimpin negeri ini, mewakili rasa sedih dan simpatik rakyat Indonesia bahkan dunia.
Baca juga: Eksotika Bromo, Menguak Asal Usul Orang Tengger di Kaki Bromo
Oleh sebab di samping nilai tinggi tumbuhan endemiks disana, wisata Bromo juga salah satu destinasi wisata domestik maupun manca negara. Tidak heran jika tragedi "Flare Prewedding Bromo", yang memicu api melalap 500- 800an ha savana indah itu, menyedot perhatian berbagai kalangan.
Kerugian yang ditimbul pun tidak hanya pada berkruangnya pendapatan TNBTS, akibat penutupan per 10 September 2023 lalu (Surat Kepala TNBTS No. PG.09/T.8/BIDTEK/9/2023).
Tetapi wisatawan yang jadwal kedatangannya tertunda pun turut menanggung konsekwensi, termasuk para penyedia penginapan dan transportasi.
Termasuk wisatawan manca negara. Terlebih kerugian ekologis seperti: hilangnya sumberdaya genetic dan jenis endemik, emisi, migrasi paksa satwa serta intangible resources lainnya, sangat memprihatinkan.
TNBTS adalah Kawasan Konservasi yang dibentengi berbagai aturan dan sumberdaya manusia yang handal dan profesional, didesign untuk melindungi ribuan potensi yang khas didalamnya.
Menurut sejarahnya, kawasan ini merupakan gabungan dari areal cagar alam, taman wisata, hutan produksi dan hutan lindung (https://bromotenggersemeru.org). Tidak heran jika potensi ekonominya luar biasa, terkhusus untuk wisata karena rona alamnya seksi.
Dilaporkan bahwa kunjungan wisatawan ke Gunung Bromo itu mencapai 138.695 orang tahun 2021, dan meningkat tajam 318.919 orang tahun 2022 (https://news.republika.co.id).
Baca juga: Viral Fenomena Embun Beku di Bromo-Semeru, Apa Bedanya dengan Salju?
Namun di sisi lain, keriuhan potensi ekonomi itu, sekaligus menjadi tantangan bagi upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem taman nasional yang baik.
"Flare Prewedding Bromo" hanya percikan dalam perjalanan panjang sejarah pengelolaan TNBTS, tetapi pesan yang dikirimkannya amat jelas bagi perbaikan pengelolaan. Tak ada yang ragu, bahwa keadilan harus ditegakkan bagi pelanggar Karhutla dan siapapun yang terlibat.
Namun demikian, itu hanyalah salah satu cara yang sering diduga akan berdampak jera. Dalam prakteknya, pendekatan sosial, budaya, edukasi bahkan keagamaan, dalam Karhutla perlu dipertimbangkan, oleh karena penyebab karhutla didominasi oleh prilaku manusia (anthropogenic).
Dalam kasus "Flare Bromo", minimnya pengetahuan dan kesadaran pasangan calon pengantin dan EO Fotografi tentang bahayanya "bermain api" di kawasan konservasi musim kemarau, menjadi indikasi penting.
Pertama, terkait efektifitas awareness building tentang Karhutla bagi para pengunjung TNBTS.
Kedua, pengetahuan pengunjung tentang tanda bahaya kebakaran, fasilitas pemadam dan sumber air.
Ketiga, evaluasi internal terkait efektivitas pengawasan, patroli, program dan anggaran yang tersedia.
Secara teoritis, pengetahuan mengenai teknik pengendalian Karhutla pada berbagai medan seperti pada: lahan gambut, hutan tanaman dan pegunungan, telah menjadi pengetahuan dasar sejak lama bagi para pemangku Taman Nasional/kawasan hutan, temasuk identifikasi faktor penyebabnya.
Baca juga: Letusan Gunung Semeru dan Jaminan Kesuburan untuk Masa Depan
Namun ditataran implementasi, kadang hal baru bisa saja terjadi, luput dari literasi lama, seperti kasus "Flare Prewedding" itu.
Oleh karenanya, dinamika prilaku atau budaya manusia perlu menjadi perhatian serius para pengelola, termasuk mencermati kemungkinan unsur kesengajaan dengan berbagai motifasi.
Disadari bahwa, interaksi masyarakat pada kawasan taman nasional yang arealnya luas dan "remote" terlebih pegunungan, tidak selalu mudah dikontrol, biaya pengendalian kebakaran sangat mahal, sumber daya manusia dan sumberdaya lainnya mungkin jadi terbatas, oleh karena itu pencegahan (mitigasi) Karhutla adalah satu cara yang harus jadi perhatian besar ke depan.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menyediakan layanan pemantauan titik api berbasis data satelit NOAA dan Tera bernama "Sipongi" yang mudah diakses (http://sipongi.menlhk.go.id). Akurasi posisi sebaran titik api terverifikasi dan terpetakan.
Di sisi lain, informasi prakiraan cuaca, analisis iklim, prakiraan iklim, peringatan kebakaran hutan dan lahan (SPARTAN), informasi kerentanan terbakar lapiasan bawah tanah permukaan, iklim ekstrem dan lain-lain, juga tersedia pada website Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG).
Tinggal sejauh mana semua informasi itu dapat diformulasikan menjadi sebuah program mitigasi.
Saling sahut api di taman naisonal di Jawa: TN Bromo Tengger Semeru, TN. Gunung Gede Pangrango (TNGGP), TN Gunung Ciremai dan TN Baluran beberapa hari lalu, adalah alarm alam yang perlu menjadi bahan refleksi mendalam.
Baca juga: Pengertian Sabana serta Contoh Flora dan Faunanya
Pengelola dan pihak berkepentingan perlu benar-benar dapat menemukan akan permasalahannya, karena Karhutla terulang hampir setiap tahun dengan kerusakan ekosistem yang tidak mudah dipulihkan.
Tata waktu kejadian dan musim kemarau pun sudah dapat diprediksi. Tinggal bagaimana cara mencegah, meminimalkan resiko, memelihara konsentrasi dan menyiapkan aneka sumberdaya.
Semoga pesan "Flare Prewedding Bromo" dapat kita tangkap Bersama hikmahnya, savana areal ex kebakaran segera dapat direstorasi dan kejadian serupa tidak terulang.
Yayan Hadiyan, S.Hut, M.Sc.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi - BRIN