Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Letusan Gunung Semeru dan Jaminan Kesuburan untuk Masa Depan

Kompas.com - 07/12/2021, 19:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dian Fiantis dan Budiman Minasny

SETELAH satu tahun tiga hari beristirahat, pada 4 Desember 2021 Gunung Semeru di Lumajang Jawa Timur meletus lagi. Letusan ini menghamburkan abu vulkanis, lava pijar yang cair dan awan panas guguran. Hujan lebat turun mengiringi erupsi Semeru, memicu datangnya lahar yang membawa material vulkanis dari lereng atas-tengah ke lereng bawah.

Aliran kencang lahar telah menghancurkan jembatan Glagah Perak, memutuskan jalur vital transportasi kedua kecamatan yang terdampak erupsi. Ketika malam tiba, masyarakat harus mengungsi, menyelamatkan diri ke tempat aman agar terhindar dari bencana susulan yang belum dapat diprediksi.

Erupsi gunung api memang merupakan petaka untuk manusia, menghancurkan lingkungan dan merusak infrastruktur di sekitarnya. Namun, setelah letusan nanti, tanah-tanah di sekitar gunung akan subur.

Petaka akibat letusan Semeru

Erupsi gunung di Indonesia berasal dari 69 gunung api aktif yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, kepulauan Maluku, dan Maluku Utara serta Sulawesi Utara.

Sejak awal abad ke-19 tercatat lebih dari 70 kali Semeru meletus, biasanya berlangsung beberapa hari sampai bulanan. Letusannya diawali dengan tipe strombolian yang relatif ringan dengan indeks erupsi vulkanis antara 1 dan 2. Letusan strombolian melontarkan batu pijar berukuran halus seperti abu dan lapilli (partikel abu berbentuk bola bulat), berukuran sedang sampai besar berupa bom lava hingga ketinggian ratusan meter.

Baca juga: Erupsi Gunung Semeru, Ini Bahaya Abu Vulkanik bagi Kesehatan

Awan panas yang menyertai letusan gunung Semeru bisa mencapai 11 kilometer yang membentuk lidah lava dan pernah menewaskan 3 orang penduduk desa pada 1994. Aliran awan panas dan lava ini biasanya mengarah ke selatan dan tenggara. Pada letusan kali ini tercatat ada 15 orang yang meninggal sampai Senin 6 Desember.

Aliran deras lahar Semeru yang menghancurkan apa saja yang dilewatinya ternyata telah disimulasikan dan dilaporkan oleh para peneliti asing dari Selandia Baru dan Prancis pada 2013.

Para peneliti itu menganalisis rekaman video saat lahar menerjang dari lereng atas hingga masuk ke sungai. Seringnya bencana lahar terjadi dipicu oleh curah hujan yang tinggi di sekitar Semeru (2.200-3.700 milimeter per tahun) serta banyaknya tumpukan material vulkanis lepas yang ada di lereng atas dan tengah yang terjal.

Mereka menyimpulkan bahwa keberadaan dam Sabo yang dibangun di hilir sungai sangat signifikan mengurangi laju dari aliran lahar.

Emisi gas sulfur dioksida (SO2) saat Semeru erupsi harus diwaspadai karena akan berakibat fatal jika terhirup manusia atau ternak. Saat terjadi erupsi pada 2013, diestimasi ada 20 sampai 1.460 kilogram SO2 yang terlempar ke udara. Bahaya akibat gas sulfur dioksida sangat mudah dikenali dari baunya yang menyengat dan menyebabkan sesak nafas, sakit dada, iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan.

Sejarah riset gunung api

Aktivitas gunung berapi di Indonesia telah lama dipelajari sejak zaman kolonial Belanda. Maur Neumann van Padang (1894-1986), ahli vulkanologi Belanda yang lahir di Padang Panjang, telah banyak mencatat aktivitas gunung api di Indonesia.

Menurut catatan Neumann, letusan Semeru sudah sering terjadi sejak awal abad ke-19. Setelah dorman selama 11 tahun, Semeru aktif kembali tahun 1829 selama 20 tahun, kemudian tidur kembali selama 8 tahun. Siklus aktif selama 7-28 tahun dan dorman 6 sampai 28 tahun berulang sampai sekarang.

Baca juga: Gunung Semeru Meletus, Apa akan Ada Erupsi Susulan?

Pada malam 29 Agustus 1909, letusan Semeru memakan korban 208 jiwa, dan abu dan lahar memusnahkan 600-800 hektare lahan pertanian dan sebagian dari 38 desa di sekeliling gunung Semeru. Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk Komisi Loemadjang untuk mengumpulkan dana dalam membantu korban gunung api.

Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda menganggap korban bencana alam ini tidak dapat dihindarkan. Namun pada 1919, setelah letusan dahsyat Gunung Kelud memakan korban 5.110 jiwa, pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk Vulkaanbewakingsdienst atau Dinas Penjagaan Gunung Api pada 14 September 1920, untuk memonitor keadaan gunung api sehingga melindungi penduduk dari risiko bencana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com