Petani ubi kayu umumnya menerapkan budidaya sederhana di lahannya. Sebagian besar petani hanya memupuk urea dengan dosis terbatas atau bahkan tidak memupuk sama sekali.
Hal ini berimbas hasil yang diperoleh sangat rendah. Dalam jangka panjang dapat menyebabkan degradasi lahan.
Baca juga: Ahli Gizi: Singkong Rebus dan Abon Lebih Bergizi untuk Pengungsi
Sebagian besar ubi kayu ditanam di lahan suboptimal dengan kesuburan rendah, tidak ada irigasi, keterbatasan infrastruktur jalan, dan jauh dari kios saprodi. Lahan ubi kayu banyak terdapat di lereng dengan kemiringan lebih dari 15% yang rawan erosi.
Sosialisasi diperlukan dalam menjaga kesuburan dengan mengembalikan unsur hara melalui aplikasi pupuk organik dan anorganik.
Sumber daya manusia merupakan faktor yang berperan dalam pengembangan ubi kayu. Sebagian besar petani ubi kayu berpendidikan formal rendah dan usia relatif tua.
Kondisi ini berdampak negatif terhadap adopsi teknologi. Penguatan keterampilan, modal, dan kepemilikan lahan menjadi solusi menghindari sulitnya pengembangan ubi kayu.
Iklim riset dengan sumber dana yang kompetitif dapat mendukung penciptaan inovasi menghasilkan varietas unggul baru, teknologi budidaya, dan produk ubi kayu, mengejar ketertinggalan dari komoditas pangan lain.
Penelitian menghasilkan varietas unggul bertujuan perbaikan potensi hasil, umur genjah, nutrisi tinggi (betakaroten, protein, mineral), komposisi pati tinggi, toleran cekaman biotik-abiotik, dan daya simpan umbi.
Strategi memacu potensi hasil ubi kayu dengan program intensifikasi usaha tani dan promosi pasar produk ubi kayu lokal akan meningkatkan kedaulatan pangan, khususnya pangan pokok non beras.
Baca juga: Hari Tani Nasional, LIPI Kenalkan Varietas Unggulan Padi dan Singkong
Dr. Vina Eka Aristya, S.P., M.Sc.
Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan - BRIN