Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memacu Potensi Ubi Kayu

Oleh: Dr. Vina Eka Aristya, S.P., M.Sc.

UBI kayu merupakan sumber nutrisi sehat. Komoditas ini mengandung karbohidrat, protein, serat, kalium, kalsium, folat, zat besi, magnesium, vitamin C, dan vitamin B6.

Ubi kayu selain sebagai pangan juga menjadi bahan baku industri, pakan, dan bahan bakar nabati.

Potensi ekspor produk turunan ubi kayu selama lima tahun terakhir mencapai 86,3 juta ton. Volume ekspor sebesar 3.360 ton, dikirim ke 22 negara dengan nilai USD 2,5 juta.

Tepung ubi kayu yang dimodifikasi (mocaf) sangat unggul sebagai substitusi tepung terigu. Tepung mocaf memiliki keunggulan bebas gluten, kaya serat, dan indeks glikemik rendah.

Kualitas produk turunan tepung mocaf pun sama dengan produk tepung terigu. Pemanfataan tepung mocaf mengurangi impor tepung terigu dan menghemat devisa negara.

Manihot esculenta mudah dibudidayakan bahkan di lahan marginal, efisien sumber hara, serta tahan cekaman biotik dan abiotik. Ubi kayu adapatif perubahan iklim global, sehingga sangat potensial menjadi pangan alternatif pengganti beras dan jagung.

Permasalahan komoditas ubi kayu ialah fluktiasi produksi dan harga. Pemerintah belum menetapkan harga dasar ubi kayu sehingga komoditas ini kurang diminati petani. Harga jual tepung mocaf juga lebih tinggi dibandingkan tepung terigu.

Keterbatasan subsidi pemerintah pada tepung mocaf menjadikannya sulit bersaing dengan tepung terigu.

Kendala teknis meliputi umbi cepat rusak, rendahnya adopsi varietas unggul, belum terbentuk sistem perbenihan, terbatasnya sarana dan prasarana produksi, teknologi, serta akses modal.

Tantangan lain yaitu kurangnya peningkatan kualitas petani, kemitraan petani lemah, dan belum optimalnya kebijakan, menjadikan ubi kayu bukan komoditas strategis.

Pengembangan ubi kayu

Luas panen ubi kayu di Indonesia berfluktuasi dan cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2020 luas panen ubi kayu 632 ribu ha (produksi 16,6 juta ton) dan prediksi tahun 2024 meluas hingga 664 ribu ha (produksi 17,6 juta ton).

Penghasil terbesar ubi kayu yaitu Lampung (27,71 persen), Jawa Timur (14,80 persen), dan Jawa Tengah (14,59 persen).

Peluang pengembangan ubi kayu sangat terbuka melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, dan diversifikasi produk. Faktor pendukung yaitu tersedia areal lahan kering dan lahan potensial lainnya, teknologi budi daya, serta permintaan pasar yang terus meningkat.

Ubi kayu banyak dikembangkan di lahan kering marginal dan lahan rawa pasang surut yang luapan airnya tidak menggenangi lahan secara periodik. Pengembangan ubi kayu signifikan ditingkatkan, mengingat potensi lahan kering Indonesia sebesar 17 juta ha dan lahan rawa seluas 5 juta ha.

Ubi kayu dapat ditanam secara monokultur di lahan kering dataran rendah hingga sedang. Ubi kayu memiliki daya adaptasi yang baik pada lahan yang miskin bahan organik, hara makro, dan mikro, meskipun hasilnya tidak seoptimal di lahan subur.

Manihot esculenta juga dibudidayakan secara tumpang sari dengan komoditas lain (kedelai, padi gogo, kacang tanah). Ubi kayu pun berfungsi sebagai tanaman sela area perkebunan dan hutan rakyat yang masih muda atau kondisi peremajaan yang belum banyak naungan.

Varietas ubi kayu yang telah dilepas untuk konsumsi yaitu Adira1, Malang1, Malang2, dan Darul Hidayah. Varietas ini memiliki potensi hasil 42-102 ton/ha dipanen umur 7-12 bulan.

Pilihan varietas sumber tapioka meliputi Adira2, Adira4, UJ3, UJ5, Malang4, Malang6, UK1 Agritan, Vati1, Vati2, dan Vamas1, memiliki hasil rata-rata 22-42,5 ton/ha di umur 7-10 bulan.

Varietas penghasil bioethanol ialah Litbang UK2, potensi hasilnya 60,5 ton/ha, panen 9-10 bulan.

Semua varietas memiliki umur genjah, tahan tungau merah, penyakit layu, bercak daun, busuk akar/umbi, adaptasi luas, kadar pati tinggi, dan adaptif hara suboptimal.

Kebijakan penetapan harga dasar ubi kayu minimal Rp 1000, mempertimbangkan subsidi output, subsidi tepung mocaf, dan kemudahan akses modal, mampu meningkatkan kapasitas produksi bagi pasar global.

Perbaikan potensi ubi kayu ditempuh melalui adopsi varietas unggul, teknologi produksi, dan pemasyarakatan pangan lokal. Meningkatkan ketersediaan sarana prasarana dan kualitas pupuk, akan menarik petani tanam ubi kayu.

Program memperkuat kelembagaan petani, meningkatkan kapasitas petani, membentuk korporasi dan sistem perbenihan, serta hibah riset dapat menunjang industri umbi.

Ubi kayu dibudidayakan di lahan kering yang tergantung musim hujan, sehingga memiliki periode musim tanam pendek. Fluktuasi produksi dan harga rentan terjadi.

Panen raya terjadi di satu waktu, sedangkan di waktu lain ubi kayu langka. Saat panen raya harga murah dan merugikan petani. Harga jatuh menyebabkan petani beralih ke komoditas lain dan menurunkan luas tanam ubi kayu.

Kebijakan subsidi pupuk penting untuk dikelola, pencabutan subsidi memberatkan petani dan mengakibatkan kebutuhan pupuk tidak dapat terpenuhi. Sementara pupuk non subsidi harga mahal, tidak tersedia, dan kualitas beragam. Perlu pendampingan petani oleh petugas dalam penggunaan pupuk.

Penyebaran dan adopsi varietas unggul perlu didukung diseminasi ke petani pengguna. Ubi kayu yang dianggap sebagai komoditas inferior biasanya diperbanyak secara vegetatif dengan stek yang tingkat produktivitasnya rendah.

Petani menggunakan bibit pertanaman sebelumnya atau dari petani lain, dengan penurunan daya tumbuh.

Petani ubi kayu umumnya menerapkan budidaya sederhana di lahannya. Sebagian besar petani hanya memupuk urea dengan dosis terbatas atau bahkan tidak memupuk sama sekali.

Hal ini berimbas hasil yang diperoleh sangat rendah. Dalam jangka panjang dapat menyebabkan degradasi lahan.

Sebagian besar ubi kayu ditanam di lahan suboptimal dengan kesuburan rendah, tidak ada irigasi, keterbatasan infrastruktur jalan, dan jauh dari kios saprodi. Lahan ubi kayu banyak terdapat di lereng dengan kemiringan lebih dari 15% yang rawan erosi.

Sosialisasi diperlukan dalam menjaga kesuburan dengan mengembalikan unsur hara melalui aplikasi pupuk organik dan anorganik.

Sumber daya manusia merupakan faktor yang berperan dalam pengembangan ubi kayu. Sebagian besar petani ubi kayu berpendidikan formal rendah dan usia relatif tua.

Kondisi ini berdampak negatif terhadap adopsi teknologi. Penguatan keterampilan, modal, dan kepemilikan lahan menjadi solusi menghindari sulitnya pengembangan ubi kayu.

Iklim riset dengan sumber dana yang kompetitif dapat mendukung penciptaan inovasi menghasilkan varietas unggul baru, teknologi budidaya, dan produk ubi kayu, mengejar ketertinggalan dari komoditas pangan lain.

Penelitian menghasilkan varietas unggul bertujuan perbaikan potensi hasil, umur genjah, nutrisi tinggi (betakaroten, protein, mineral), komposisi pati tinggi, toleran cekaman biotik-abiotik, dan daya simpan umbi.

Strategi memacu potensi hasil ubi kayu dengan program intensifikasi usaha tani dan promosi pasar produk ubi kayu lokal akan meningkatkan kedaulatan pangan, khususnya pangan pokok non beras.

Dr. Vina Eka Aristya, S.P., M.Sc.
Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan - BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/11/01/080000823/memacu-potensi-ubi-kayu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke