Kolega Lang pun menyebut, butuh setidaknya dua tahun lagi sebelum uji coba penerapan untuk mengurangi risiko kanker muncul di antara dua waktu skrining rutin (interval cancer).
Stephen Duffy, profesor skrining kanker di Queen Mary University of London yang tidak terlibat dalam riset ini berpendapat, algoritma AI mungkin berlebihan mendeteksi kanker yang dikenal sebagai karsinoma duktal in situ (ductal carcinoma in situ atau DCIS).
Meski demikian, Duffy memuji riset Lang sebagai berkualitas tinggi. Mengurangi beban waktu radiolog dia sebut sangat penting terkait program skrining payudara.
Upaya mendeteksi kanker payudara dengan bantuan AI bukan baru kali pertama ini terpantau di media. Sama-sama menggunakan AI, pendekatan yang dilakukan juga tak satu macam.
Pada 2020, misalnya, Google yang menggandeng DeepMind, Cancer Imperial Centre Imperial Research, dan Royal Surrey Country juga telah menjajal AI untuk lebih akurat mendeteksi kanker payudara.
Berbekal data mammogram saja tanpa akses data lain, AI Google dapat mengurangi kekeliruan diagnosis, termasuk positif palsu maupun negatif palsu, secara signifikan.
Google menggunakan dataset representatif berupa mammogram yang tidak teridentifikasi dari 76.000 perempuan di Inggris dan 15.000 perempuan di Amerika Serikat (AS). Data tersebut digunakan sebagai model untuk menemukan tanda kanker payudara.
Pemodelan itu lalu dievaluasi menggunakan data lain yang sudah teridentifikasi dari 25.000 perempuan di Inggris dan 3.000 perempuan di AS.
Hasilnya, sistem tersebut mengurangi angka positif palsu sampai 5,7 persen di AS dan 1,2 persen di Inggris serta penurunan 9,4 persen palsu di AS dan 2,7 persen di Inggris.
Para peneliti kemudian melatih model AI hanya pada data dari perempuan di Inggris dan kemudian mengevaluasinya pada set data dari perempuan di AS. Dalam percobaan terpisah ini, ada penurunan 3,5 persen pada positif palsu dan pengurangan 8,1 persen pada negatif palsu.
Baca juga: AI Google Kalahkan Ahli Radiologi dalam Deteksi Kanker Payudara, Ini Artinya
Dalam kedua percobaan tersebut, model AI Google ditemukan lebih akurat dalam mendiagnosis kanker payudara dibandingkan seorang radiolog manusia.
Lalu, pada 2021, penelitian lain mendapati kecerdasan buatan juga dipakai untuk mendeteksi kanker payudara menggunakan data ultrasonografi (USG) payudara, bukan mammogram.
Saat diuji terpisah, 44.755 data yang sudah diperiksa ultrasonografi-nya itu didapati menaikkan hingga 37 persen akurasi diagnosis kanker payudara. Tes ini juga menurunkan kebutuhan sampel jaringan melalui biopsi untuk konfirmasi tumor yang dicurigai sebagai kanker sampai 27 persen.
"Kecerdasan buatan dapat membantu ahli radiologi membaca pemeriksaan USG payudara pasien yang menunjukkan tanda-tanda nyata kanker payudara untuk menghindari biopsi kasus yang ternyata tumor jinak," kata Krzysztof Geras, peneliti studi ini.
Baca juga: Ahli Kembangkan Kecerdasan Buatan untuk Deteksi Kanker Payudara
Pemeriksaan USG yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi ini dapat melewati jaringan untuk membuat gambar payudara atau jaringan lain secara realtime. Meski tidak umum digunakan sebagai alat skrining kanker payudara, alat ini bisa berfungsi sebagai alternatif mamografi atau tes diagnostik lanjutan bagi banyak perempuan.
Selain itu USG lebih murah, lebih banyak tersedia di klinik, dan tidak melibatkan paparan radiasi. USG juga lebih baik daripada mamografi untuk menembus jaringan payudara yang padat dan membedakan sel-sel padat tetapi sehat dari tumor-tumor padat. Meskipun, risiko positif palsu tetap harus menjadi perhatian.
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.