Oleh: Dr. Sutomo, S.Hut., M.Sc.
TAHUKAH bahwa kawasan Bali Barat kini menjadi “rumah” terakhir satu-satunya burung endemik dari Pulau Bali, yaitu Jalak Bali?
Selain area persebarannya yang semakin menyempit, ukuran populasinya yang rendah menyebabkan burung endemik Bali ini masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Baca juga: Jalak Bali: Taksonomi, Morfologi, dan Perilaku
Hutan dan sabana tropis di Indonesia merupakan habitat bagi berbagai satwa liar endemik. Sayangnya, beberapa dari spesies endemik ini sekarang sangat terancam dan masuk daftar merah dalam status konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Di antara spesies ini, adalah Jalak Bali atau Bali mynah (Leucopsar rotschildii), yang saat ini populasi alami, sebagian besar hanya terdapat terbatas di Taman Nasional Bali Barat.
Mengingat risiko kepunahan yang tinggi yang dihadapi oleh spesies tersebut, program konservasi yang dijalankan akan membutuhkan pendekatan multidisiplin yang meliputi riset dari atribut biologis spesies itu sendiri maupun riset tentang habitatnya.
Sayangnya, bagi banyak spesies, ekologi habitatnya masih kurang dipahami. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah satu-satunya burung endemik yang ditemukan di Bali.
Jalak Bali pertama dikenal oleh dunia sains melalui deskripsi yang diberikan oleh Stresemann pada tahun 1912, berdasarkan spesimen yang diamati dari sekitar daerah Bubunan Bali.
Kerusakan habitat dan penangkapan burung untuk perdagangan hewan peliharaan membawa spesies ini ke ambang kepunahan. Ekspor besar-besaran jalak Bali selama tahun 1960-an dan 1970-an mendorong masuknya Jalak Bali pada Lampiran 1 Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah (CITES).
Upaya konservasi Jalak Bali mendesak untuk dilakukan. Model distribusi spesies (Species Distribution Modeling atau SDM) semakin mulai banyak diterapkan secara luas dalam bidang konservasi.
Untuk konservasi jenis burung, SDM juga telah digunakan untuk memahami apa saja faktor lingkungan yang mungkin menyebabkan distribusi atau bahkan pergeseran penyebarannya di masa depan seiring dengan adanya perubahan iklim global saat ini.
Baca juga: Ratusan Burung Jalak di Inggris Jatuh dan Mati di Jalanan, Kok bisa?
Konservasi ex-situ atau upaya pelestarian di luar kawasan aslinya, dapat memanfaatkan teknik pemodelan spasial atau SDM ini terutama untuk menemukan area yang baru yang paling sesuai untuk habitat breeding program ataupun pelepasliaran jalak Bali ke depannya.
Topik mengenai SDM di dalam konservasi Jalak Bali ini telah dipublikasikan salah satunya di dalam prosiding ilmiah global di tahun 2023 ini yang berjudul “Habitat Suitability Modelling for Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) in East Java, Bali and Lombok: A Potential Sites for its Ex-Situ Conservation”
Ide dasarnya adalah daripada mengirim Jalak Bali untuk dibiakkan di luar negeri, mengapa kita tidak menjajaki kemungkinan “rumah” penangkaran baru untuk Jalak Bali di Indonesia? Serta bagaimana Jalak Bali merespons terhadap perubahan iklim global serta perubahan penggunaan lahan saat ini.
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita perlu melihat distribusi historis Jalak Bali serta mempelajari data lingkungan dan iklim di masa lalu dan saat ini dari habitat alami Jalak Bali.
Kedua informasi tersebut kemudian kita padukan dengan teknik penginderaan jauh serta permodelan prediksi, untuk mencari lokasi lainnya yang memiliki kondisi lingkungan dan iklim yang paling mirip dengan habitat aslinya.
Hasilnya adalah model distribusi spesies yang berhasil memetakan potensi distribusi habitat yang cocok untuk Jalak Bali.
Model memprediksi bahwa dengan kondisi iklim saat ini, habitat yang paling cocok untuk Jalak Bali di luar Pulau Bali adalah di seluruh area di Pulau Nusa Penida, beberapa daerah di Jawa Timur seperti Baluran dan Alas Purwo dan juga beberapa daerah di Pulau Lombok.
Baca juga: Fakta-fakta Menarik Telur Burung, Apa Saja?
Poin kunci lain dari model ini juga adalah, ketika terjadi perubahan penggunaan lahan yang dramatis, populasi Jalak Bali juga akan berkurang secara signifikan. Namun model yang dhasilkan ini, memang memiliki keterbatasan.
Model ini tidak mempertimbangkan interaksi biotik seperti persaingan untuk makanan atau tempat tinggal dengan burung lain sebagai salah satu variabel maupun juga gangguan antropogenik lainnya.
Dalam kerangka berfikir yang lebih besar, penelitian-penelitian tentang konservasi dengan menerapkan teknik SDM untuk flora dan fauna baik itu endemik maupun terancam punah akan mampu memberikan kontribusi positif bagi pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
Dr. Sutomo, S.Hut., M.Sc.
Peneliti senior Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya