Dengan perubahan pola kerja melalui zoom, maka risiko penyakit tidak menular akan lebih mendekat, termasuk scoliosis dan radang sendi akibat terlalu banyak duduk.
Baca juga: Cuti Melahirkan Jadi 6 Bulan, Ahli Gizi: Baik untuk Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif
Risiko penyakit tidak menular akibat obesitas seperti Diabetes, hipertensi, jantung, ginjal, merupakan penyakit katastropik dan membutuhkan biaya besar.
Masalah lainnya, asupan makanan yang diproses disatu sisi cukup meringankan para ibu dalam menyiapkan makanan keluarga, tetapi apakah mereka faham tentang dampak jangka panjang dari makanan kemasan yang cenderung ditambahkan dengan perasa, pemanis, pengawet, pewarna, dan belum lagi masalah gula, garam, dan lemaknya yang membuat metabolism tubuh bekerja lebih berat?
Masalah gizi memang tidak akan pernah habisnya terkait dengan perubahan budaya, perilaku masyarakat dan kemajuan teknologi.
Saat ini masalah gizi utama yang menjadi masalah nasional adalah masalah gizi kronik stunting, masalah kelebihan gizi atau obesitas yang menjadi faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM), dan masalah defisiensi zat gizi mikro seperti zat besi (risiko anemia), zink dan yodium yang masih dibutuhkan khususnya dalam proses pertumbuhan bayi dan Balita.
Hipothesis Barker tentang fetal programming menyebut, konsekuensi masalah gizi didalam kandungan dapat berlanjut hingga dewasa. Masa plastisitas merupakan proses penting pertumbuhan janin didalam kandungan ibunya.
Baca juga: Ahli Gizi Ingatkan Bahaya Konsumsi Telur Mentah, Seperti Apa
Ketika kekurangan gizi kronis terjadi pada ibu hamil, maka janin akan mengadaptasi pertumbuhannya selama dalam kandungan dan lahir dengan ukuran tubuh yang tidak optimal terutama yang secara langsung terlihat dari berat badan, panjang badan dan lingkar kepala bayi saat lahir.
Dampak masa plastisitas yang terganggu juga memiliki risiko terhadap pertumbuhan organ janin (otak, jantung, paru, ginjal, pancreas) yang tidak optimal, dan kemungkinan indikasi masalah muncul pada usia selanjutnya (dewasa).
Gizi dalam siklus hidup sebagai hasil kolaborasi dari ACN/SCN dengan IFPRI menggambarkan, perbaikan masalah stunting membutuhkan tiga generasi (gambar terlampir).
Untuk kondisi Indonesia, intervensinya dapat dimulai dari masa remaja (memperbaiki status gizi khususnya anemia), monitoring gizi dan kesehatan ibu hamil agar terbebas dari masalah gizi kronis, menjaga agar bayi tidak lahir dengan berat badan minimal (2500 gram atau kurang) dari ibu dengan usia kandungan 9 bulan, dan menjaga bayi tumbuh sehat melalui pemberian ASI eksklusif, perlindungan imunisasi dasar lengkap, dan pemberian makanan pendamping ASI secara optimal.
Pemerintah telah mencanangkan Generasi Emas untuk memperingati satu abad kemerdekaan (2045) Masih ada waktu relative 25 tahun menuju generasi emas. Mampukah Indonesia mencapainya?
RPJMN 2020-2024 menjadi titik tolak Visi Indonesia Maju 2045. Target Generasi Emas yaitu membangun SDM pekerja keras yang dinamis, produktif, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi didukung dengan kerjasama industri dan talenta global.
Baca juga: Daftar Makanan yang Mengandung Gizi yang Penting untuk Tulang dan Gigi
Saat ini pemerintah sedang berjuang untuk percepatan penurunan stunting.
Berbagai kebijakan telah dikembangkan, bahkan setidaknya telah terbit tiga peraturan Presiden sejak ahun 2013, yaitu: Perpres no. 42/2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi, Perpres no. 83/2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi, Perpres no. 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Semua outcome kebijakan menuju kepada perbaikan status gizi masyarakat, khususnya masalah stunting pada Balita. Masalah stunting merupakan masalah gizi kronis yang berimplikasi pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi persaingan global.