Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

LGBT Harus Berhenti Percaya Informasi Salah dan Sains yang Usang

Kompas.com - 20/11/2022, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Informasi sains salah (misinformasi dan disinformasi) dan pengetahuan usang, serta problematik tentang seksualitas menyebar luas lewat media massa dan media sosial.

Mereka yang mengaku diri sebagai akademisi dan peneliti pun turut serta menyebarkannya.

Akademisi dan peneliti yang melakukannya bukan hanya satu, melainkan melimpah. Liputan saya yang menganalisis 145 paper soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menemukan, bahwa komunitas ilmiah juga menyebarkan informasi salah dan miskonsepsi lewat makalah ilmiah.

Ada narasi bahwa teori gen gay runtuh dan gay bisa berubah, yang dibangun hanya berdasarkan kasus dua gay yang ingin menikah.

Ada pula wacana lokalisasi hak asasi yang dipakai untuk menjustifikasi argumen LGBT tidak bisa memperoleh kesetaraan di Indonesia.

Hasil liputan berjudul "LGBT: Diskriminasi, Miskonsepsi, Misinformasi tentangnya dalam Makalah Komunitas Ilmiah Indonesia" bisa dibaca secara gratis di Visual Interaktif Kompas dengan klik tautan berikut.

LGBT: Diskriminasi, Miskonsepsi, dan Misinformasi tentangnya dalam Makalah Komunitas Ilmiah Indonesia

Meski luasnya penyebaran informasi salah dan pengetahuan usang tentang seksualitas itu cukup memprihatinkan, hal itu bisa dianggap "wajar", mengingat sikap Indonesia yang secara umum masih tidak ramah terhadap LGBT.

Hal yang lebih menyesakkan, lewat proses liputan, saya menemukan bahwa ada kemungkinan individu LGBT sendiri masih percaya informasi salah dan pengetahuan usang itu, serta turut mengamplifikasinya.

Dalam salah satu riset yang Kompas.com cermati, ditulis oleh Novi Andayani Praptiningsih sebagai disertasi doktoralnya di Universitas Padjadjaran, ada sejumlah pernyataan responden yang menggambarkan hal itu.

Salah satu contoh pernyataan yang mungkin berasal dari pertanyaan alasan menjadi gay adalah "Gue jadi gay karena ibu gue over-protektif banget. Waktu kecil gue dimanja kedua orangtua dengan banyak membelikan mainan yang sama dengan adik perempuan gue."

Dua contoh pernyataan lain adalah "Aku jadi gay, karena enggak tahan dengan sikap otoriter ayah. Aku dididik sangat keras oleh ayah", serta "Aku jadi gay, karena ayahku galak dan temperamental, sering memarahi ibu, aku, dan adik."

Pernyataan lain menyangkut pengaruh pergaulan. Salah satu responden mengatakan, "Gue gay, karena sering bergaul dengan gay dan respect aja dengan negara Barat yang melegalkan hubungan percintaan gay."

Tanpa bermaksud menginvalidasi pengalaman buruk teman-teman LGBT dengan orangtua, bagaimana kalian bisa membuat korelasi antara sikap otoriter ayah dan protektif ibu dengan identitas dan ekspresi gender?

Apa dasar argumennya? Apakah itu hasil googling atau interaksi dengan banyak gagasan yang berujung pada self-diagnosis yang salah? Seperti halnya ketika mengatakan, "Kebanyakan micin nih gue jadi lemot mikirnya."

Michael J Bailey dan rekan dalam publikasinya "Sexual Orientation, Controversy and Science", serta Alan P Bell dalam “Sexual Preference: Its Development in Men and Women” mengungkapkan, bukti bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh pola asuh sangat lemah.

Thersa Sweet dan Seth L Welles dalam publikasinya pada 2012 menemukan bahwa LGBT mengalami kekerasan seksual lebih tinggi, tetapi studi itu tidak menemukan kaitan kekerasan dengan pembentukan identitas seksual.

Justru, riset menemukan bahwa kekerasan seksual ataupun non-seksual dialami LGBT karena perbedaan mereka yang dinilai tidak sesuai norma. Misalnya, laki-laki yang lebih menyukai boneka atau warna pink dirundung dan dieksklusikan.

Hal itu sebenarnya tecermin dari pengalaman narasumber riset Novi. "Guru saya nganggep-nya saya perempuan.... Saya suka dikerjain, dikatain bencong," kata narasumber tersebut. "Saya juga pernah jadi korban sexual harrasment, saya dipaksa melakukan sodomi...."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com