Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sering Patuk Pohon, Mengapa Burung Pelatuk Tak Alami Cedera Otak?

Kompas.com - 16/07/2022, 11:02 WIB
Monika Novena,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Burung pelatuk dikenal dengan perilakunya yang sering mematuk batang pohon. Meski sering patuk pohon, namun burung ini tidak pernah mengalami cedera otak.

Perilaku burung pelatuk tersebut digunakannya untuk berkomunikasi, mencari makanan, atau membuat rongga untuk bersarang.

Tak main-main, burung pelatuk bisa memukul kepala ke depan ke belakang dengan menakjubkan 20 kali per detik.

Namun dengan aktivitas mematuk yang sering dilakukannya menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah hal itu membuatnya mengalami cedera otak atau tidak.

Kini peneliti memaparkan sebuah hipotesis baru untuk menjelaskan pertanyaan tersebut.

Dikutip dari New Scientist, Jumat (15/7/2022) dalam studi sebelumnya, peneliti menyebut berbagai modifikasi tubuh dapat membantu mengurangi dampak pada jaringan otak burung pelatuk.

Baca juga: Kenapa Burung Pelikan Bermigrasi?

Modifikasi itu terjadi di antaranya pada tulang spons di antara otak dan paruh burung pelatuk yang berfungsi sebagai bantalan otak untuk melindungi organ ini dari pukulan berulang saat mereka mematuk pohon.

Kendati demikian, jaringan itu sebenarnya membantu kepala mereka mengetuk dengan cepat dengan penggunaan energi yang minimal, seperti palu yang dirancang dengan baik. Bukan fitur yang dirancang untuk menyerap patukan.

"Kami merasa teori penyerapan ini tak masuk akal. Ibarat palu dengan peredam kejut yang terpasang di dalamnya hanyalah palu yang buruk," kata Sam Van Wassenbergh dari University of Antwerp, Belgia.

Untuk mengetahui lebih lanjut, ia pun bersama-sama dengan rekan-rekannya kemudian menganalisis 109 video berkecepatan tinggi dari enam burung pelatuk yang berada di penangkaran saat sedang mematuk kayu.

Baca juga: Tipe-Tipe Flu Burung dan Tipe yang Paling Berbahaya

Burung pelatuk muka kuning (Melanerpes flavifrons)wikimedia.org Burung pelatuk muka kuning (Melanerpes flavifrons)

Enam burung itu antara lain dua burung pelatuk hitam (Dryocopus martius), dua pelatuk jambul (Dryocopus pileatus) dan dua pelatuk tutul besar (Dendrocopos mayor).

Peneliti lantas dengan hati-hati mengukur perlambatan mata mereka saat paruh mematuk kayu.

Mereka menemukan bahwa, dalam milidetik setelah paruh mematuk kayu, mata dan kepala burung melambat pada tingkat yang pada dasarnya sama dengan paruh.

Itu berarti bahwa tulang spons di depan mata tidak menekan atau menyerap efek pukulan.

"Kepala mereka pada dasarnya berfungsi sebagai palu yang kaku dan kokoh saat mematuk," papar Van Wassenbergh.

Tim lalu menciptakan model digital pelatuk untuk menguji apa yang akan terjadi jika tulang spons menyerap patukan dan bantalan mengurangi sakit pada otak.

Baca juga: Jumlah Spesies Burung Terancam Punah di Indonesia Terbanyak di Dunia

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa bahwa otak burung tak berisiko gegar otak karena dampaknya tak cukup kuat.

Mengingat ukuran dan berat otak burung pelatuk yang terletak di dalam wadah berisi cairan di tengkorak, mereka hanya akan mengalami kerusakan otak jika mematuk dua kali lebih cepat dari biasanya.

Kerusakan bisa terjadi juga bila burung pelatuk mengenai permukaan empat kali lebih keras daripada target kayu yang biasa mereka patuk.

Sementara penelitian lain menyebutkan bahwa burung-burung lain mungkin menderita efek benturan kepala seumur hidup bila melakukan hal serupa dengan pelatuk.

Studi tentang burung pelatuk tak pernah alami cedera otak meski sering patuk pohon ini telah dipublikasikan di jurnal Current Biology.

Baca juga: Cari Perhatian Betina, Burung Namdur Jantan Hias Sarang untuk Kawin

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com