BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Bank DBS Indonesia

Krisis Iklim Sudah Mengkhawatirkan, Kenali 6 Penyebab Pemanasan Global

Kompas.com - 12/07/2022, 14:45 WIB
Erlangga Satya Darmawan,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Masalah iklim menjadi salah satu isu penting yang harus segera ditangani oleh pemerintah dunia saat ini.

Berdasarkan laporan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada 2020, periode 2010-2019 menjadi dasawarsa terpanas sejak perubahan iklim tercatat 140 tahun lalu.

Adapun rerata kenaikan suhu global dalam satu dasawarsa terakhir sekitar 1 derajat Celcius jika dibandingkan kenaikan pada periode 1950-1980.

Bila tak segera diatasi, masalah tersebut akan berdampak besar bagi seluruh ekosistem dan kehidupan di bumi.

Dampak tersebut meliputi peningkatan suhu udara, kenaikan permukaan air laut akibat pencairan es di kutub, penyebaran wabah penyakit, dan kebakaran hutan.

Berdasarkan studi berjudul “Peningkatan Suhu Global Mengurangi Hasil Tanaman” dari Arizona State University pada 2017, kenaikan suhu bumi sebesar 1 derajat Celcius dapat menurunkan hasil panen sekitar 3-7 persen.

Untuk memitigasi pemanasan global, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalisasi aktivitas yang menjadi penyebab dari masalah tersebut.

Lalu, apa saja penyebab utama dari pemanasan global? Berikut ulasannya.

1. Deforestasi

Aktivitas penggundulan hutan atau deforestasi dapat memicu peningkatan suhu udara.

Dilansir dari theconversation.com, Jumat (4/2/2022), setiap tahun, deforestasi menyebabkan sekitar 5,2 miliar ton karbon dioksida (CO2) yang tersimpan selama jutaan tahun di dalam hutan terlepas ke atmosfer. Angka tersebut hampir mencapai 10 persen dari total emisi global selama 2009-2016.

Ilustrasi deforestasiDok. Shutterstock/Matic Stojs Lomovsek Ilustrasi deforestasi

Padahal, menurut ilmuwan lingkungan dari University of Virginia di Charlottesville, Deborah Lawrence, keberadaan hutan, terutama hutan tropis, dapat membantu mendinginkan suhu global rata-rata lebih dari 1 derajat Celcius.

Hal tersebut tak terlepas dari kemampuan hutan dalam menangkap dan menyimpan karbon.

2. Emisi gas buang kendaraan

Salah satu pemicu utama dari pemanasan global adalah peningkatan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, seperti polutan dan CO2, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.

Untuk diketahui, sebanyak 70 persen GRK berasal dari pelaku industri. Dari jumlah tersebut, 25 persen di antaranya berasal dari sektor transportasi.

Selain itu, setiap liter bahan bakar yang digunakan juga menyumbang sekitar dua kilogram CO2 ke atmosfer bumi.

Oleh karena itu, Panel Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau IPCC meminta semua pihak, termasuk pelaku industri, untuk menghentikan penggunaan sumber energi yang berasal dari bahan bakar fosil dan batu bara.

IPCC juga meminta penggunaan energi baru terbarukan (EBT) lebih dikedepankan dalam aktivitas industri.

3. Limbah industri

Gas limbah industri dan rumah tangga merupakan penyebab pemanasan global terbesar setelah emisi gas kendaraan bermotor.

Bahkan, keberadaan limbah industri disinyalir menjadi penyebab awal dari global warming.

Berdasarkan berbagai studi, pemanasan global dimulai pada masa revolusi industri pertama, yakni sekitar pertengahan abad ke-19.

Ilustrasi limbah industri. Dok. Shutterstock/UweMosch Ilustrasi limbah industri.

Industri kertas dan plastik menjadi penyumbang limbah industri terbesar yang memicu global warming.

Sebagai gambaran, untuk memproduksi 30 juta produk plastik polietilena tereftalat (PET), dibutuhkan sekitar 12 juta barrel minyak.

Adapun satu barrel berisi sekitar 159 liter (135 kg) minyak mentah yang bisa melepaskan emisi karbon sebesar 118 kg. Jika ditotal, produksi tiap ton plastik PET dapat menghasilkan sekitar 3 ton gas CO2.

4. Limbah pertanian dan peternakan

Industri pertanian dan peternakan juga ikut berperan dalam memicu pemanasan global.

Pada sektor peternakan, limbah, seperti kotoran hewan, napas, dan flatulensi, menghasilkan emisi gas berbahaya, yakni metana.

Kontribusi gas metana dari limbah peternakan terhadap pemanasan global pun tergolong tinggi, yakni mencapai 16 persen.

Selain itu, pembuatan pupuk kompos yang berasal dari kotoran hewan juga menghasilkan gas dinitrogen oksida (N2O) yang mampu mencemari udara.

Sementara, pada sektor pertanian, limbah yang dihasilkan sektor tersebut mencapai 10 persen dari total volume emisi GRK pada 2019.

5. Penggunaan listrik

Listrik merupakan salah satu pemicu terbesar dari pemanasan global. Sebab, sebagian besar listrik diproduksi menggunakan batu bara, gas alam, dan minyak bumi.

Untuk diketahui, pembakaran batu bara pada pembangkit listrik di AS mampu menghasilkan sekitar 2 miliar ton emisi CO2 per tahun. Bahkan, emisi CO2 yang disumbang dari sektor tersebut disinyalir mencapai 40 persen.

Selain pembangkit tenaga listrik, pemborosan penggunaan alat elektronik dalam rumah tangga pun turut berkontribusi terhadap pemanasan global.

Pasalnya, gas berfluorinasi (fluorinated gas) yang dihasilkan alat elektronik memiliki efek pemanasan yang sangat kuat, yakni 23.000 lebih besar dari CO2.

6. Sisa makanan

Disadari atau tidak, sisa makanan merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global. Pasalnya, saat makanan disisakan, secara tak langsung, seseorang juga telah menyia-nyiakan energi dan air yang digunakan untuk memperoduksinya.

Sebagai informasi, sepertiga energi yang digunakan untuk memproduksi makanan berasal dari pembangkit tenaga listrik berbahan bakar fosil.

Ilustrasi membuang sisa makanan.Dok. Shutterstock/Nito Ilustrasi membuang sisa makanan.

Pembangkit tersebut turut memproduksi emisi karbon yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Tak hanya itu, sisa makanan yang menumpuk dan membusuk di pembuangan sampah juga akan menghasilkan gas metana.

Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit pada 2021, Arab Saudi merupakan negara dengan limbah makanan terbesar di dunia, disusul Indonesia di urutan kedua, dan AS di urutan ketiga.

Sementara itu, menurut hasil studi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan sejumlah lembaga terkait food loss and waste di Indonesia pada 2021, sampah makanan yang terbuang di Indonesia sejak 2000 hingga 2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun. Jumlah ini setara 115-184 kilogram per kapita per tahun.

Sampah sisa makanan tersebut menjadi masalah besar. Selain memicu pemanasan global, kerugian yang diterima Indonesia akibat sampah sisa makanan mencapai Rp 213-551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional.

Itulah enam penyebab utama pemanasan global yang memicu bencana alam akibat perubahan iklim. Untuk mengatasi masalah tersebut, sejumlah pemerintah dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, sepakat untuk menekan berbagai penyebab utama dari pemanasan global tersebut.

Tak hanya dari pemerintahan, upaya penanggulangan pemanasan global juga datang dari berbagai pihak swasta, salah satunya Bank DBS.

Saat ini, Bank DBS tengah melakukan gerakan peduli lingkungan melalui kampanye “Towards Zero Food Waste” dan #MakanTanpaSisa.

Kampanye tersebut bertujuan untuk mengajak masyarakat agar lebih peduli terhadap sampah makanan yang bisa menimbulkan masalah lingkungan hingga pemanasan global.

Lewat gerakan tersebut, Bank DBS mengajak masyarakat Indonesia agar mulai mengurangi sampah makanan melalui kebiasaan sehari-hari.

Executive Director and Head of Group Strategic Marketing Communication PT Bank DBS Indonesia Mona Monika mengatakan, Gerakan #MakanTanpaSisa merupakan realisasi dari pilar keberlanjutan yang diusung Bank DBS Group yakni Creating Impact Beyond Banking. Mona menjelaskan, membantu masyarakat dan menjadi bank yang digerakkan oleh tujuan positif merupakan DNA dari Bank DBS Indonesia.

Oleh karena itu, Bank DBS Indonesia terus berinovasi untuk menjadi bank yang mengedepankan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Upaya tersebut dilakukan Bank DBS Indonesia atas kesadaran akan peran sebagai lembaga keuangan yang menjalankan bisnis berkelanjutan demi generasi masa depan dan lingkungan hidup.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank DBS Indonesia juga secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang berdampak sosial lewat kerja sama dengan komunitas dan wirausaha melalui DBS Foundation.


Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com