Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Subvarian Corona Baru Bisa Muncul Usai Lebaran 2022, Ini Kata Epidemiolog

Kompas.com - 09/05/2022, 17:00 WIB
Zintan Prihatini,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman berkata bahwa ada potensi munculnya subvarian baru Omicron setelah libur Lebaran 2022.

Pasalnya, varian Omicron atau B.1.1.529 yang sangat menular masih mendominasi di seluruh dunia termasuk Indonesia.

"Omicron ini jagonya sekarang dalam kaitan menyebarkan Covid, kecepatannya belum ada yang bisa menandingi di varian lain," ujar Dicky kepada Kompas.com, Senin (9/5/2022).

"Kemudahan dia (varian Omicron) menginfeksi, keleluasaan dia bersirkulasi bukan hanya di antara orang yang belum divaksinasi bahkan pada orang yang (sudah) divaksinasi," sambungnya.

Baca juga: Amerika Serikat Alami Lonjakan Kasus Omicron Siluman BA.2, Ini Dampaknya Menurut Ahli

Ia menilai, subvarian atau garis keturunan Omicron maupun rekombinan virus lebih mungkin terjadi, dibandingkan munculnya varian baru.

Sebab, kemungkinan munculnya varian baru selain Omicron pada level global mulai berkurang lantaran penularannya kalah cepat dari varian B.1.1.529 ini.

Di sisi lain, kata Dicky, dengan semakin banyaknya orang yang mendapatkan vaksin dosis ketiga atau booster dan cakupan vaksinasi yang baik mengartikan pasien tidak bergejala serta gejala ringan akan mendominasi kasus.

Hal tersebut mengakibatkan kemungkinan terdeteksinya kasus semakin berkurang, ditambah strategi deteksi di Indonesia yang cenderung pasif, di mana banyak orang yang tidak melakukan tes Covid-19 dengan PCR ataupun antigen karena tak menunjukkan gejala.

"Bicara lonjakan (kasus Covid-19 setelah Lebaran) ini tampaknya kalau hanya melihat Omicron yang selama ini ada di Indonesia, lonjakannya enggak berarti karena sekali lagi, kan pasif (deteksinya)," imbuhnya.

Namun, Dicky mencatat kondisi lonjakan kasus mungkin akan berbeda apabila sudah ditemukan subvarian baru maupun rekombinan varian Omicron.

Baca juga: WHO Awasi Varian Omicron BA.4 dan BA.5, Disebut Tidak Sebabkan Peningkatan Kasus Infeksi

Adapun beberapa subvarian yang saat ini tengah menjadi perhatian dunia antara lain BA.4, BA.5, BA.2.12, hingga subvarian BA.2.12.1.

Jika subvarian Omicron tersebut ditemukan ke Indonesia, maka bukan tidak mungkin peningkatan kasus dapat terjadi dalam dua sampai empat pekan pasca virus masuk kemudian menyebar.

"Jadi kalau itu masih bisa diredam sementara, lonjakan dari Idul Fitri ini sifatnya moderat. Ancamannya ada, tapi selama dia (virus corona) belum mengarah pada kelompok yang berisiko tinggi enggak kelihatan, jadi seperti silent," ucap Dicky.

Sebaliknya, jika virus corona menyebar di wilayah dengan cakupan vaksinasi yang rendah, hasilnya mungkin akan berbeda. Ketika vaksinasi Covid-19 di tingkat kabupaten/kota rendah, potensi lonjakan kasus dapat terjadi di wilayah tersebut.

"Beda dengan dua tahun sebelumnya 'kan nasional, hampir sama semua. Sekarang aglomerasi khususnya sudah makin bagus modal imunitasnya, makanya lonjakan seperti ini akan terlihat di daerah yang buruk (vaksinasinya), kecuali ada subvarian baru," terangnya.

Upaya mitigasi yang perlu dilakukan

Dicky pun mengingatkan agar masyarakat tetap disiplin protokol kesehatan dengan 5M yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas untuk mencegah penularan virus usai libur Lebaran.

Percepatan akselerasi vaksin Covid-19 ke seluruh wilayah juga menjadi kunci penting bagi pemerintah, untuk mencegah kemunculan subvarian ataupun lonjakan kasus.

"Artinya kembali kepada kemampuan deteksi pemerintah itu sendiri. Bagaimana menyinkronkan, mengolah data-data yang ada dari beragam laboratorium mandiri PCR atau rapid test antigen untuk menjadi alat pantau," papar Dicky.

Baca juga: Kandidat Vaksin Khusus Omicron Sinopharm dan Sinovac Disetujui Masuk Uji Klinis

Dia membeberkan sejumlah upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menekan peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia, di antaranya:

  • Tetap melakukan surveillance atau pengawasan, sekaligus memperkuatnya.
  • Meningkatkan penemuan kasus dini
  • Melakukan penatalaksanaan kasus secara tepat dan tepat
  • Melakukan edukasi dengan strategi komunikasi yang kuat bagi pemangku kepentingan termasuk masyarakat
  • Penguatan sistem kesehatan
  • Perubahan perilaku bagi masyarakat
  • Penguatan kualitas udara termasuk infrastruktur

"Di masa transisi seperti ini harus dilakukan dan diperkuat karena ke depan kita bukan hanya berhadapan dengan Covid saja tetapi beragam ancaman baru yang sifatnya ditularkan lewat udara, air, ataupun hal lainnya," ungkapnya.

Dia mengakui, selama dua tahun ke belakang banyak masyarakat yang disiplin melakukan protokol kesehatan dan lebih banyak berdiam diri di rumah. Sehingga, penyakit menular yang dapat menyebar melalui berbagai jalur pun mulai menurun.

Akan tetapi, memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19, kasus infeksi di berbagai negara dilaporkan telah melandai sehingga aturan pembatasan mulai dilonggarkan. Terlebih, banyak masyarakat yang menjadi abai dalam menerapkan protokol kesehatan.

Akibatnya, risiko penyakit menular yang sebelumnya dapat ditangani seperi flu, batuk, dan pilek kembali mengancam dunia.

"Kalau itu (penyakit menular) datang, kita tidak mengubah perilaku, atau aspek-aspek lainnya ancaman yang lain akan datang. Ini akan menjadi double burden atau beban buat masyarakat, pemerintah dan sistem kesehatan itu sendiri," jelas Dicky.

Oleh karena itu, ia menyarankan perubahan perilaku serta peningkatan sistem kesehatan menjadi PR besar yang harus dikerjakan pemerintah dengan dukungan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com