KOMPAS.com - Munculnya varian B.1.1.529 atau Omicron yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan, membuat pemerintah di seluruh dunia memberlakukan berbagai regulasi untuk memperketat wilayahnya dalam mencegah masuknya virus varian baru.
Pemerintah Indonesia juga turut melakukan pengetatan pembatasan wilayah.
Sementara ini, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan aturan terbaru terkait masa karantina bagi pelaku perjalanan internasional yang tertuang dalam Addendum Surat Edaran (SE) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19.
Salah satu poin yang tercantum dalam Addendum SE Satgas Covid-19 ini menyebutkan bahwa masa karantina Covid-19 harus dilakukan selama 10 hari.
Baca juga: Varian Omicron Belum Masuk Indonesia, Wamenkes: Kita Perketat Pintu Masuk
Hal tersebut juga diungkapkan Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, Dr Alexander K Ginting dalam webinar bertajuk Belajar dari Delta, Waspada Omicron, Selasa (14/12/2021).
Dia memaparkan, karantina 10 hari adalah benteng pertahanan dan antisipasi terjadinya transmisi penularan varian Omicron.
"Karantina setelah pengawasan pada check point kedatangan hingga check point ke tujuh. Kalau kita liat check point yang ada di bandara tidak ada tawar-menawar. Tidak ada jalan keluar di bandara, semua terkunci karena mereka (pelaku perjalanan internasional) dijemput," ujar Alexander.
Dia mengungkapkan, bahwa karantina merupakan salah satu perlindungan yang diupayakan pemerintah untuk menjaga keselamatan masyarakat.
"Memang (karantina adalah) satu persoalan yang harus disosialisasikan. Karantina bukan aksesoris, jangan bermain-main. Kita berhadapan dengan UU Karantina dan UU Penyakit Wabah Menular," tambahnya.
Lebih lanjut, Alexander menyatakan saat ini terdapat dua jenis karantina, yakni karantina mandiri dan karantina gratis yang dibiayai pemerintah.
Bagi karantina mandiri, pelaku perjalanan internasional akan diarahkan menuju hotel yang bekerja sama dengan pemerintah setelah sampai di bandara tujuan.
Sedangkan untuk karantina yang dibiayai hanya berlaku untuk pelajar, mahasiswa, pekerja migran, serta pejabat pemerintah yang datang dari luar negeri.
Baca juga: Kematian Pertama Akibat Omicron, Epidemiolog: Kasus Serupa Akan Terjadi
Pada kesempatan yang sama, Presiden Indonesian Society of Human Genetics (InaSHG) Dr Gunadi menjelaskan, mengacu pada technical brief yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 10 Desember lalu, penyebaran varian Omicron disebut lebih cepat dibandingkan varian Delta.
Sehingga data awal WHO mengatakan, ada kemungkinan omicron lebih menular daripada Delta.
"Virulensi atau keparahan memang ada yang dirawat di rumah sakit (akibat varian Omicron), ada juga yang dilaporkan meninggal. Tetapi secara umum WHO menyatakan (varian) Omicron lebih ringan dari (varian) Delta, namun datanya masih minim," tuturnya.
Baca juga: Gejala Omicron Mirip Pilek, Ini Tanda Covid-19 yang Harus Diwaspadai
Kendati efikasi vaksin Covid-19 dinilai menurun sejak ditemukannya varian Omicron, Gunadi menegaskan bahwa vaksinasi Covid-19 dapat melindungi dari keparahan penyakit.
Selain itu, protokol kesehatan harus tetap dijalankan untuk menghindari paparan varian Omicron.
"Protokol kesehatan masih diperlukan di samping berjalannya vaksinasi," tegas Gunadi.
Senada dengannya, Alexander pun menuturkan upaya 3T (Tracing, Testing, dan Treatment) serta 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) terus dilakukan untuk mencegah penularan varian virus baru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.