KESEPAKATAN sejumlah pemimpin negara dalam pertemuan G20 di Roma, Italia, dan Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021 menyisakan pekerjaan rumah yang tidak sedikit untuk Indonesia.
Bayangkan, para pemimpin ekonomi terbesar dunia berkomitmen menghentikan pemanfaatan dan pembiayaan batubara di luar negeri secara bertahap sebagai upaya untuk memangkas suhu Bumi.
Meskipun memberatkan karena banyak negara berkembang seperti Indonesia, masih bergantung pada batu bara. Tetapi para elite Cekonomi dunia juga berkomitmen untuk mengalokasikan 100 miliar dollar AS untuk mendukung negara-negara berkembang dalam mengurangi emisi karbon.
Baca juga: Hasil COP26: Mengecewakan, Kurang Ambisius, tetapi Lumayan Ada Kemajuan
Lalu bagaimana Indonesia? Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di forum tersebut, menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi (net zero emission), memanfaatkan energi baru terbarukan serta mengembangkan industri berbasis energi bersih.
Pemerintah sebelumnya telah menyampaikan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), untuk mencapai net zero emission selambat-lambatnya tahun 2060.
Presiden memastikan pemerintah akan terus memobilisasi sumber pendanaan secara maksimal untuk membiayai proyek net zero emission, baik melalui instrumen obligasi maupun sukuk.
Baca juga: Energi Terbarukan dan Target Indonesia
Meski demikian, Presiden juga menyerukan kontribusi negara-negara maju untuk mendukung negara berkembang, termasuk Indonesia dalam upaya mencapai suistanable development goals (SDGs) pada 2030.
Langkah Presiden dalam mengatasi krisis iklim tidak main-main, janji di forum COP26 langsung ditindaklanjuti dengan pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing yang akan menjadi basis dalam rangka pencapaian NDC Indonesia untuk mendukung pembangunan rendah karbon pada 2030 dan net zero emission pada 2060.
Baca juga: Cita-cita Jokowi di COP26 dan Retorika Pertambangan Indonesia
Apa yang disampaikan Presiden sesuai dengan peta jalan (road map) bauran energi nasional yang ditetapkan pemerintah sebelumnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penggunaan EBT dalam bauran energi nasional akan didongkrak menjadi 23 persen pada 2025 sebagai upaya untuk untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius, sebagaimana ditetapkan oleh Paris Agreement.
Penggunaan EBT pada saat itu diharapkan disokong oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun bauran 2025 tersebut masih ditunjang oleh sumber energi konvensional, seperti BBM 25 persen dan batu bara di angka 30 persen.
Angka bauran EBT diproyeksikan melejit ke 42 persen pada 2030, selain disokong oleh PLTS, pemerintah juga menargetkan untuk mulai menggunakan kendaraan listrik sebanyak dua juta mobil dan 13 juta motor.
Di tahun 2040, bauran EBT diharapkan mencapai 71 persen dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tidak lagi beroperasi. Dan pada 2045, pemerintah mencanangkan untuk membangun pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama.
Sejalan dengan peta jalan itu, PT Pertamina (Persero) menargetkan pengurangan karbon dioksida (CO2) hingga 81.4 juta ton pada tahun 2060.
Baca juga: Perhitungan COP26, Suhu Bumi Diprediksi Naik 2,4 Derajat Celsius
Perseroan juga berencana untuk menekan emisi tersebut dengan penerapan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), suatu teknologi untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2).