Dalam hal ini, Pertamina menggandeng ExxonMobil untuk menerapkan teknologi rendah karbon dan juga Carbon Capture Utilization and Storage.
Sementara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) secara bertahap akan mulai mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan baku batu bara untuk meminimalisasi efek gas rumah kaca mulai 2031 hingga 2055. Sebagai gantinya, PLN akan menggantikan PLTU tersebut dengan pembangkit berbasis EBT mulai 2030.
Komitmen pemerintah untuk menerapkan net zero emission pada 2060 adalah pekerjaan berat dan membutuhkan upaya yang tidak mudah, mengingat Indonesia saat ini masih menjadi salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia yang dianggap penyumbang terbesar pemanasan Bumi. Indonesia juga tercatat sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar kedelapan terbesar di dunia.
Akan berakhirnya era batu bara bagi dunia dan juga Indonesia, secara tidak langsung akan menyisakan dampak pada industri yang selama ini bergantung pada komoditas tersebut.
Penggantian bahan bakar PLTU dari batu bara ke energi ramah lingkungan, seperti panas bumi dan gas, membutuhkan dana segar yang tidak sedikit. Sementara teknologi Carbon Capture Utilization and Storage yang akan diadopsi Pertamina juga bukan barang murah.
Timbul pertanyaan besar, berapakah ongkos yang dibutuhkan untuk transisi energi di Tanah Air tersebut?
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui pemerintah membutuhkan dana sebesar 150 miliar dollar AS hingga 200 miliar dollar AS per tahun dalam program rendah karbon selama sembilan tahun ke depan.
Untuk dapat menggarap proyek iklim tersebut, pemerintah, selain mengharapkan bantuan dari negara-negara maju, tentunya harus melakukan cara konvensional, yaitu menggandeng pihak ketiga untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi investasi hijau serta memastikan target perubahan iklim nasional dapat tercapai.
Saat ini, pihak swasta memang masih terbatas dalam ikut serta proyek iklim, padahal mereka adalah tokoh kunci dalam pengembangan proyek-proyek tersebut. Keterlibatan tersebut penting mengingat pemerintah memiliki keterbatasan dalam pendanaan.
Dalam lawatan Presiden Joko Widodo ke Glasgow beberapa waktu lalu, sejumlah perusahaan Inggris menyatakan komitmennya untuk berinvestasi sebesar 9,29 miliar dollar AS di proyek-proyek ramah lingkungan di Tanah Air.
Demikian pula Uni Emirat Arab. Dalam kunjungan Presiden ke negara tersebut, Putra Mahkota Abu Dhabi sekaligus pemimpin defacto UEA Syekh Muhammad bin Zayid al-Nahyan menyatakan komitmennya untuk menanamkan modal sebesar 32,7 miliar dollar AS di Indonesia, termasuk di sektor EBT.
Selain komitmen tersebut, Indonesia juga masih memiliki kesempatan emas untuk berburu investor dengan didapuknya Indonesia sebagai presidensi G20 pada 2022 yang memprioritaskan penguatan kerja sama perubahan iklim.
Namun, meski komitmen sudah ada di atas tangan, tetap ada harga dan usaha untuk itu. Pemerintah harus memberikan insentif-insentif menarik untuk dapat mereka membuat untuk merealisasikan komitmen investasinya.
Perpres NEK dan juga rencana pemerintah menelurkan UU Harmoninisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang akan mengatur masalah pajak karbon pada 2022, bisa jadi merupakan angin segar bagi calon investor.
Namun, sebagaimana galibnya investor, kehadiran mereka juga harus dirangsang dengan instrumen-intrumen fiskal dan kebijakan yang menarik lainnya agar harga jual energi yang dihasilkan dari EBT, seperti tenaga surya, panas bumi, mini hidro dan bayu, dapat kompetitif jika dibandingkan dengan energi fosil yang dijual jauh di bawah harga keekonomiannya.
Dan untuk itu, terobosan pemerintah yang out of the box atau cara tidak biasa masih dinantikan.
Baca juga: Minggu Kedua COP26, Indonesia Pastikan Janji-janji Pendanaan Iklim
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.