Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aspek Sosial Berlapis dari Kejadian Makam Vanessa Angel dan Bibi Rusak

Kompas.com - 11/11/2021, 16:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Makam Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah tampak berantakan usai diduga dikunjungi terlalu banyak peziarah. Di sosial media pun banyak beredar foto-foto netizen yang berfoto di makam keduanya.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Dosen Departemen Sosiologi FISIP UGM AB Widyanta mengatakan, apa yang terjadi dengan makam Vanessa dan Bibi sangat erat kaitannya dengan realitas hidup masyarakat digital saat ini.

Dari kaca mata sosiologi, Widyanta melihat ada banyak lapisan aspek sosial yang terjadi, salah satunya pornografi musibah.

Kejadian ini sama seperti selfie bencana yang sudah terjadi beberapa tahun lalu, yakni orang-orang melakukan selfie atau mengambil swafoto di area lokasi bencana, seperti banjir atau sisa aliran lahar gunung berapi, misalnya.

Nah, kali ini fenomena itu bergeser menjadi selfie musibah. Dalam hal ini musibah yang dimaksud adalah kecelakaan yang dialami Vanessa dan Bibi.

Baca juga: Makam Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah Diserbu untuk Selfie, Sosiolog: Ini Pornografi Musibah

"Musibah sendiri adalah sebuah kesengsaraan, tapi di sisi lain selfie mencerminkan kegembiraan," ungkap Widyanta kepada Kompas.com, Kamis (11/11/2021).

Ironisnya, kedua hal yang bertolak belakang ini dijejerkan di dalam realitas masyarakat digital hari ini.

"(Saat ada fenomena selfie bencana) ada yang menyebut itu sebagai pornografi bencana. Boleh juga di sini kita menyebut sebagai pornografi musibah dengan selfie seperti itu," urainya.

Dipaparkan Widyanta, fenomena pornografi musibah seperti ini semakin marak di dunia yang disebutnya subjek digital atau subjek algoritmik. Yang dimaksud subyek digital adalah semua orang yang memiliki handphone.

"Saya kira, ini bisa kita nilai sebagai realitas dari oksimoron yang dipraktikkan di kehidupan nyata oleh subyek digital," kata Widyanta.

Oksimoron merupakan dua kata berlawanan yang ada di satu kalimat atau satu frasa.

"Nah, ini praktik oksimoron itu dilakukan (di kehidupan). Praktik bergembira ria di atas musibah," jelasnya.

Namun ternyata bukan hanya pornografi musibah saja yang bisa dilihat dari fenomena ini.

Aspek sosial berlapis

Widyanta mengatakan, apa yang dilakukan oleh subyek digital sangat berlapis. Berikut uraiannya:

1. Secara psikologi sosial

Pertama, secara psikoanalisa atau psikologi sosial, kejadian ini mengandung disonansi kognitif.

Disonansi kognitif adalah situasi yang mengacu pada konflik mental, yang terjadi ketika keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang tidak selaras.

Dalam situasi ini, ketika ada keluarga yang berduka, sudah sepatutnya orang lain tahu diri.

"Tetapi kok ya dalam praktiknya tidak demikian, justru orang bergembira dalam kedukaan orang lain," ungkapnya.

"Dalam konteks tertentu bisa dibaca, step pertama yang terjadi adalah disonansi kognitif ini."

2. Ego sentrisme

Yang kedua, Widyanta melihat kejadian seperti ini menunjukkan adanya ego-sentrisme.

"Ada sikap egosentris dari subyek digital itu," kata Widyanta.

Sikap egosentris yang dimaksud adalah orang-orang lebih mementingkan kepentingannya sendiri, tanpa mempedulikan kedukaan orang lain yang jelas-jelas menjadi kesengsaraan bagi keluarga yang ditinggalkan.

3. Praktik eksploitasi

Aspek ketiga ada praktik eksploitasi.

Dia menjelaskan, yang dieksploitasi di sini adalah menjadikan kedukaan orang lain sebagai bahan pemberitaan atau bahan konten yang tidak pantas.

4. Menjadikan komoditas atau spectacle

Level keempat ini merupakan turunan dari praktik eksploitasi. Di mana subyek digital menjadikan musibah sebagai komoditas.

Selain komoditas, turunan yang lain adalah sengaja membuat musibah sebagai tontonan atau spectacle.

5. Bahan rekognisi atau pengakuan

Dijelaskan Widyanta, setelah suatu musibah dijadikan komoditas dan atau tontonan, musibah kemudian dijadikan bahan rekognisi bagi si pelaku swafoto.

"Setelah menjadikan komoditas atau spectacle, ujungnya kok jadi sangat tidak mengenakkan," ungkap Widyanta.

"Jadi menghadirkan kesengsaran orang lain sebagai sumber atau bahan, agar dia mendapatkan rekognisi (pengakuan)," paparnya.

Baca juga: Sopir Vanessa Angel Ngantuk Diduga Alami Microsleep, Ini Kata Pakar Kesehatan Tidur

Widyanta mengatakan, fenomena seperti ini benar-benar aneh. Pasalnya dengan kata lain, korban dalam kejadian ini menjadi subyek hiburan sesuai keinginan subyek digital atau pembuat konten digital.

"Ini sesuatu yang tidak pintas. Ini betul-betul empatinya mati. Kematian empati bisa dibilang terjadi di realitas masyarakat digital hari ini," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com