"Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa cuaca luar angkasa ini lebih dapat diprediksi, umumnya mengikuti aktivitas 'musim' yang sama dengan peristiwa cuaca luar angkasa yang lebih kecil," kata Prof Owens.
Akan tetapi, studi ini juga menunjukkan beberapa perbedaan penting selama musim paling aktif, yang dapat membantu kita menghindari efek cuaca luar angkasa yang merusak. .
"Penemuan baru ini seharusnya memungkinkan kita untuk membuat ramalan cuaca luar angkasa yang lebih baik untuk siklus matahari yang baru saja dimulai dan akan berjalan selama satu dekade atau lebih," jelas dia.
Lebih lanjut Prof Owens mengatakan bahwa ini menunjukkan misi luar angkasa yang signifikan di tahun-tahun mendatang, seperti rencana misi ke Bulan, akan lebih kecil kemungkinannya untuk menghadapi peristiwa cuaca luar angkasa yang ekstrem selama paruh pertama siklus matahari daripada yang kedua.
Baca juga: NASA dan Boeing Uji Roket Superkuat untuk Misi Artemis ke Bulan
Termasuk misi astronot kembali Bulan, maupun misi luar angkasa seperti misi ke Mars.
Cuaca luar angkasa yang ekstrem didorong oleh letusan besar plasma dari Matahari.
Disebut dengan pelepasan massa koronal, yang radiasinya tiba di Bumi, menyebabkan gangguan geomagnetik global yang kemudian dikenal sebagai badai Matahari.
Pada penelitian sebelumnya, umumnya berfokus pada seberapa besar peristiwa cuaca luar angkasa yang ekstrem, berdasarkan pengamatan peristiwa sebelumnya.
Para ilmuwan mengatakan memprediksi waktu atau kapan cuaca ekstrem luar angkasa ini terjadi, jauh lebih sulit karena kejadian ekstrem jarang terjadi, sehingga hanya ada sedikit data historis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola ini.
Baca juga: Ahli Membuat Peta Bulan Baru untuk Misi Eksplorasi Bulan di Masa Depan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.