Meski demikian, tidak ada bukti bahwa paus sengaja menggantikan Lupercalia dengan pemujaan pada martir Santo Valentinus yang lebih tenang atau perayaan Kristen lainnya.
Kaitan dengan cinta mungkin muncul ribuan tahun setelah kematian martir, ketika Geoffrey Chaucer, penulis “The Canterbury Tales”, yang menyebutkan perayaan Februari dari Santo Valentinus sebagai musim kawin burung.
Ia menulis dalam “Parlement of Foules”:
“For this was on seynt Volantynys day. Whan euery bryd comyth there to chese his make_.”
Nampaknya, bagi Chaucer, burung-burung Inggris terbang berpasangan untuk menghasilkan telur pada bulan Februari.
Tak lama, bangsawan Eropa yang menyukai alam mulai mengirimkan surat cinta ketika musim burung kawin.
Sebagai contoh, Duke of Orleans asal Prancis, yang ditahan di Menara London, menulis kepada istrinya pada Februari 1415 bahwa dia “sudah sakit karena cinta” (yang dia maksud adalah mabuk cinta).
Dan dia memanggil istrinya sebagai “Valentine-nya yang sangat lembut”.
Orang Inggris kemudian menyukai konsep perkawinan di bulan Februari.
Dalam drama Shakespeare, Ophelia yang sedang mabuk cinta mengatakan dirinya sebagai Valentine bagi Hamlet.
Pada abad-abad berikutnya, laki-laki dan perempuan Inggris mulai menggunakan 14 Februari sebagai alasan untuk menulis puisi cinta kepada pujaan hati mereka.
Industrialisasi mempermudah ini dengan memproduksi massal kartu-kartu ilustrasi dengan puisi-puisi pujian.
Lalu, muncul Cadbury, Hershey’s, dan pabrik-pabrik coklat lainnya memasarkan produk-produk manis pada Hari Kasih Sayang.
Saat ini, toko-toko di Inggris dan AS menghias jendela dengan gambar-gambar hati dan spanduk mengumumkan Hari Kasih Sayang tahunan.
Para pedagang mengisi rak-rak mereka dengan makanan manis, perhiasan, dan pernak-pernik yang berhubungan dengan Cupid, bertuliskan “Jadilah Valentine-ku”.
Bagi sebagian besar pasangan kekasih, ajakan ini tidak memerlukan penggal kepala.
Tampaknya santo yang ada di balik hari perayaan cinta tetap sulit diketahui layaknya cinta itu sendiri.
Namun, seperti yang dikatakan Santo Agustinus, teolog dan filsuf terkenal di Abad ke-5, lewat argumen dalam “Faith in Invisible Things”: seseorang tidak harus berdiri di depan mata kita untuk bisa kita cintai.
Dan seperti cinta itu sendiri, Santo Valentinus dan reputasinya sebagai santo pelindung cinta bukanlah masalah sejarah yang dapat diverifikasi, tetapi tentang keyakinan hati.
Lisa Bitel
Professor of History & Religion, USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences
Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Santo Valentinus yang ‘asli’ bukanlah pelindung cinta". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.