Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah 2020 yang Penuh Pilu, di Mana Posisi Krisis Iklim Saat Ini?

Kompas.com - 13/01/2021, 10:30 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Sumber BBC,Time

Es Arktik

Rekor suhu terpanas terjadi di lingkar Arktik, tepatnya di Siberia yang mencapai 38 derajat Celcius pada Juni, 2020.

Gelombang panas itu mencairkan laut es Arktik di Siberia Timur dan menunda proses pembekuan di Arktik selama dua bulan.

Ilmuwan dari University College London, Julienne Stroeve mengatakan, bagian Eurasia dari lingkar Arktik tidak membeku sampai Oktober. Julienne menegaskan, hal tersebut merupakan dampak dari hangatnya temperatur bumi.

Sebagai gejala krisis iklim, memanasnya Arktik dua kali lebih cepat membuat es terus berkurang. Padahal, lautan es yang berwarna putih punya peranan penting dalam memantulkan panas matahari ke luar angkasa.

Baca juga: Tahun 2020 Rekor Suhu Terpanas Kedua bagi Arktik, Ini Dampaknya...

Ibun abadi

Ibun abadi (permafrost) atau lapisan tanah beku yang berada di bawah suhu 0 derajat Celcius juga semakin memanas. Ketika udara mencapai 38 derajat Celcius di Siberia pada musim panas 2020, suhu daratan di beberapa bagian Arktik juga mencapai 45 derajat Celcius.

Hal itu dapat memicu melelehnya ibun abadi di daerah tersebut. Padahal, ibun abadi menahan gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang cukup besar ketika membeku. Jumlah GRK yang ditahan ibun abadi sebesar dua kali banyaknya karbon yang ada di atmosfer.

Tak hanya itu, mencairnya ibun abadi juga dapat merusak infrastruktur dan menghilangkan mata pencaharian kelompok adat yang menggantungkan hidupnya di tanah yang membeku.

Hutan

Sejak 1990, dunia telah kehilangan 178 hektar hutan, atau setara dengan luas keseluruhan negara Libya.

Baca juga: Makin Gundul, Hutan Amazon Alami Deforestasi Terparah dalam 12 Tahun Terakhir

Tren deforestasi memang menurun dalam tiga dekade terakhir, namun ilmuwan menilai hal itu belum cukup. Sebab, hutan memegang peran penting dalam menekan pemanasan global.

Menghadapi hal itu, World Economic Forum mencanangkan penanaman satu triliun pohon untuk menyerap karbon.

Meski menanam pohon dapat menarik emisi karbon selama 10 tahun terakhir, hal itu tidak cukup untuk melawan krisis iklim.

Pengajar di Grantham Institute Bonnie Waring mengatakan, melindungi hutan yang masih ada lebih penting. Sebab, setiap kali ekosistem terganggu, emisi karbon akan terlepas.

Menurutnya, regenerasi secara alami menjadi cara paling efektif dan produktif untuk menangkap CO2 dan meningkatkan keragaman hayati.

Baca juga: Apa Itu Krisis Iklim, Penyebab Banjir di Indonesia sampai Kebakaran di Australia?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com