Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah 2020 yang Penuh Pilu, di Mana Posisi Krisis Iklim Saat Ini?

Kompas.com - 13/01/2021, 10:30 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Sumber BBC,Time

KOMPAS.com – Di pengujung tahun lalu, majalah Time memberi predikat 2020 sebagai tahun terburuk sepanjang sejarah. Time mengklaim, banyak tahun-tahun buruk yang terjadi sebelumnya, tapi kini manusia menghadapinya tanpa latihan.

Hal itu terlihat dari payahnya umat manusia menghadapi bencana alam, kerusuhan dan krisis politik di berbagai negara, hingga pandemi Covid-19.

Seakan belum cukup, kita juga diingatkan bahwa musuh terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini adalah krisis iklim.

Seperti kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, Covid-19 dan krisis iklim membawa umat manusia berada di ujung tanduk.

Untuk itu, Antonio menyerukan, aksi melawan krisis iklim menjadi prioritas utama umat manusia pada abad ke-21.

Menurutnya, sudah saatnya manusia memencet tombol “hijau” dengan membangun sistem berkelanjutan lewat energi terbarukan dan pekerjaan yang ramah lingkungan.

Baca juga: Saffron, Rempah Termahal Asal Kashmir, Rusak karena Perubahan Iklim

Melansir BBC, Senin (11/1/2020), BBC Future merangkum posisi krisis iklim pada awal 2021. Apa saja yang akan kita hadapi? Berikut poin-poin krusialnya.

Level CO2

Jumlah karbon dioksida (CO2) yang ada di atmosfer menyentuh rekor baru pada Mei 2020, dengan konsentrasi 417 parts per million (ppm). Angka ini terhitung sangat tinggi karena terakhir kali CO2 mencapai 400 ppm sekitar 4 juta tahun yang lalu.

Co-director dari Graham Institute untuk perubahan iklim dan lingkungan dari Imperial College London, Martin Siegert mengatakan, manusia telah menghasilkan 100 ppm CO2 dalam 60 tahun terakhir.

Siegert mengatakan, penambahan konsentrasi CO2 itu 100 kali lebih cepat ketimbang penambahan secara alami. Penambahan drastis seperti itu terakhir kali terjadi pada akhir zaman es, atau lebih dari 10.000 tahun lalu.

Baca juga: Survei: 90 Persen Anak Muda Indonesia Khawatirkan Dampak Krisis Iklim

“Bila kita terus memainkan skenario buruk seperti sekarang, pada akhir abad ini, konsentrasi CO2 akan mencapai 800 ppm. Kita belum pernah mengalaminya selama 55 juta tahun. Saat itu, tidak ada es di bumi dan suhu 12 derajat Celsius lebih hangat,” terang Siegert.

Rekor panas

Satu dekade terakhir menjadi waktu terpanas dalam sejarah umat manusia. Pada 2020, misalnya, bumi mencatatkan kenaikan sebesar 1,2 derajat Celsius. Angka ini menunjukkan suhu yang lebih panas ketimbang rata-rata per tahun abad ke-19.

Tahun lalu, Eropa mengalami tahun terpanas sepanjang sejarah. Secara global, panas yang terjadi pada 2020 sama panasnya dengan 2016.

Rekor suhu pada 2016 berbarengan dengan adanya El Niño (fenomena iklim panas yang terbentuk di Samudera Pasifik setiap beberapa tahun sekali). Namun, 2020 jadi tidak biasa karena adanya La Niña (kebalikan El Niño, yaitu fenomena iklim dingin).

Baca juga: Gelombang Panas Bisa Terjadi di Dalam Laut, Dampaknya Sangat Buruk

Dengan kata lain, tanpa La Niña yang menurunkan suhu bumi, 2020 akan lebih panas. Bahkan, panas pada 2020 sendiri mampu memicu kebakaran hutan terbesar di California, Colorado, dan daerah timur Australia.

Es Arktik

Rekor suhu terpanas terjadi di lingkar Arktik, tepatnya di Siberia yang mencapai 38 derajat Celcius pada Juni, 2020.

Gelombang panas itu mencairkan laut es Arktik di Siberia Timur dan menunda proses pembekuan di Arktik selama dua bulan.

Ilmuwan dari University College London, Julienne Stroeve mengatakan, bagian Eurasia dari lingkar Arktik tidak membeku sampai Oktober. Julienne menegaskan, hal tersebut merupakan dampak dari hangatnya temperatur bumi.

Sebagai gejala krisis iklim, memanasnya Arktik dua kali lebih cepat membuat es terus berkurang. Padahal, lautan es yang berwarna putih punya peranan penting dalam memantulkan panas matahari ke luar angkasa.

Baca juga: Tahun 2020 Rekor Suhu Terpanas Kedua bagi Arktik, Ini Dampaknya...

Ibun abadi

Ibun abadi (permafrost) atau lapisan tanah beku yang berada di bawah suhu 0 derajat Celcius juga semakin memanas. Ketika udara mencapai 38 derajat Celcius di Siberia pada musim panas 2020, suhu daratan di beberapa bagian Arktik juga mencapai 45 derajat Celcius.

Hal itu dapat memicu melelehnya ibun abadi di daerah tersebut. Padahal, ibun abadi menahan gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang cukup besar ketika membeku. Jumlah GRK yang ditahan ibun abadi sebesar dua kali banyaknya karbon yang ada di atmosfer.

Tak hanya itu, mencairnya ibun abadi juga dapat merusak infrastruktur dan menghilangkan mata pencaharian kelompok adat yang menggantungkan hidupnya di tanah yang membeku.

Hutan

Sejak 1990, dunia telah kehilangan 178 hektar hutan, atau setara dengan luas keseluruhan negara Libya.

Baca juga: Makin Gundul, Hutan Amazon Alami Deforestasi Terparah dalam 12 Tahun Terakhir

Tren deforestasi memang menurun dalam tiga dekade terakhir, namun ilmuwan menilai hal itu belum cukup. Sebab, hutan memegang peran penting dalam menekan pemanasan global.

Menghadapi hal itu, World Economic Forum mencanangkan penanaman satu triliun pohon untuk menyerap karbon.

Meski menanam pohon dapat menarik emisi karbon selama 10 tahun terakhir, hal itu tidak cukup untuk melawan krisis iklim.

Pengajar di Grantham Institute Bonnie Waring mengatakan, melindungi hutan yang masih ada lebih penting. Sebab, setiap kali ekosistem terganggu, emisi karbon akan terlepas.

Menurutnya, regenerasi secara alami menjadi cara paling efektif dan produktif untuk menangkap CO2 dan meningkatkan keragaman hayati.

Baca juga: Apa Itu Krisis Iklim, Penyebab Banjir di Indonesia sampai Kebakaran di Australia?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BBC,Time
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com