Lebih dari 20 orang partisipan mengaku merasa senang ketika berhubungan intim di depan kamera. Schwarz menggunakan istilah sensansi menyenangkan (playfulness).
Para partisipan mengaku bermain di depan kamera mengikuti adegan dalam video porno yang pernah ditontonnya.
Kedua, dokumentasi aktivitas seks memiliki fungsi sebagai instrumen kesenangan setelah hubungan intim selesai (watching for pleasure). Partisipan mengaku menonton diri mereka sendiri selama atau setelah bercinta.
Hal itu memperpanjang pengalaman seks dan kesenangan erotis secara visual. Apalagi menonton video porno yang dibuat bersama pasangan, memiliki nilai lebih, yaitu menghilangkan perasaan bersalah (manifestasi tak setia) yang biasanya timbul ketika menonton video porno.
Ketiga, adalah dokumentasi pribadi. Perkembangan teknologi media memberikan keleluasaan tiap orang untuk membuat dokumentasi pribadi. Tak hanya hobi, keluarga, perjalanan wisata, tetapi juga aktivitas seksual bersama pasangan.
Penelitian Schwarz menunjukkan intensitas pendokumentasian hubungan intim lebih besar ada pada pria ketimbang perempuan.
Keempat, dokumentasi hubungan intim menjadi sumber pengetahuan (knowledge), penilaian (assessment) dan peningkatan kemampuan diri (self-improvement).
Partisipan mengaku, mereka mendapatkan pengetahuan mengenai tubuhnya, reaksi stimulasi dan berbagai hal setelah menonton video intim mereka. Pengetahuan tersebut kemudian menjadi dasar penilaian untuk meningkatkan kemampuan diri agar lebih baik lagi dalam berhubungan intim bersama pasangan.
Berbagai motif di atas tentu tak patut dipersalahkan sepanjang merekam aktivitas seksual tak melanggar aturan hukum.
Namun, yang patut diwaspadai adalah perekaman hubungan intim hendaknya dilakukan atas persetujuan/konsensus kedua pihak. Tak boleh ada paksaan dari salah satu pihak dengan intimidasi dan ancaman.
Selain itu, hendaknya setiap pasangan berhati-hati dalam menyimpan data dokumentasi tersebut.
Walker dan Sleath (2017) mengingatkan bahaya memiliki data rekaman aktivitas seksual karena dapat dimanfaatkan sebagai alat balas dendam pornografi (revenge pornography) dan perbuatan berbagi tanpa kesepakatan (non-consensual sharing).
Balas dendam pornografi, menurut Hayward dan Rahn (2015), merupakan tindakan mengedarkan materi dokumentasi berupa foto atau video porno dari individu yang mudah dikenali dengan tujuan merusak martabat, nama baik, dan penghinaan dengan motif balas dendam.
Tindakan ini pada banyak kasus disebabkan oleh putusnya hubungan yang menyebabkan mantan pasangan sakit hati. Bisa juga dokumentasi menjadi alat intimidasi agar mantan pasangan menuruti kehendak pelaku.
Sementara perbuatan berbagi tanpa kesepakatan adalah tindakan mengedarkan gambar seksual eksplisit baik foto atau video tanpa persetujuan dari mereka yang ada dalam gambar tersebut. Namun, motivasi tindakan tidak jelas atau tidak terkait balas dendam.