Dilihat sepintas proyek ini tidak menguntungkan secara ekonomi, malah hanya penghamburan biaya. Akan tetapi, di kemudian hari proyek ini berhasil mendorong sistem ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan terobosan teknologi di bidang mikroelektronik, komputer, robotik, material baru, dan bioteknologi.
Dunia iptek adalah dunia yang sunyi dan sepi, makanya secara politis tidak seksi seperti kesenian dan olah raga yang penuh pesona dan daya tarik. Kalau dalam struktur bangunan, iptek itu ibarat fondasi, sangat fundamental akan tetapi tersembunyi. Kekuatan sebuah bangunan tergantung pada fondasinya.
Dari awal kemerdekaan kita menyaksikan betapa rapuhnya bangunan perkonomian kita, ditimpa angin krisis sedikit pun langsung goyah. Itu terjadi selain karena korupsi yang gigantik juga karena ekonomi kita tidak berbasis pengetahuan (knowledge-based economy), masih mengandalkan sumber daya alam seperti kegiatan ekonomi yang dilakukan dua abad yang lalu.
Tanpa membangun iptek, sampai kiamat pun Indonesia tidak akan menjadi negara maju. Kekayaan alam yang melimpah baru menjadi keunggulan komparatif dan hanya ipteklah yang bisa mentrasformasinya menjadi kekunggulan kompetitif.
Tantangan terbesar adalah bagaimana membangun kepemimpinan yang visioner yang mampu menempatkan Iptek dan inovasi pada tempat dan prioritas tinggi.
Kita hanya berharap kepada kepimpinan atau pemerintah karena merekalah yang mampu menciptakan ekosistem inovasi. Dengan memperhatikan sikap para ilmuwan yang introvert, sepertinya inisiatif perubahan ekosistem belum memungkinkan muncul dari mereka.
Di sisi lain, secara politis para ilmuwan tidak memilik posisi tawar di hadapan kekuasaan karena tidak memiliki kekuatan massa untuk menekan. Berbeda dengan para guru misalnya, untuk memperjuangkan anggaran 20 persen dalam APBN, selain melalui unjuk gigi di forum-forum ilmiah dan kemasyarakatan, mereka juga unjuk rasa sebagaimana sering dilakukan oleh para buruh, LSM, dan aktivis lainya.
Betapa pilu menyaksikan nasib pesawat N250 Gatotkaca yang diderek—bukan terbang dengan gagah—dari Bandung menuju peristirahatan terakhirnya di Museum Pusat Dirgantara Mandala Yogyakarta.
Terbang perdana tahun 1995 dan menjadi bintang pameran Indonesian Air Show 1996, setelah itu tidak pernah terdengar lagi, begitu terdengar lagi sudah “wafat”. “Sekali berarti, sesudah itu mati”, kata Chairil Anwar.
Terpuruknya PT Dirgantara Indonesia mengakibatkan larinya para ilmuwan penerebangan ke luar negeri (brain drain). Ada yang ke AS, Eropa, banyak juga yang hijrah ke Malaysia dan di sana mereka menjadi figur-figur penting penyokong industri penerbangan. Yang bertahan di tanah air ada yang menjadi politisi, pengusaha dan ada juga yang membuat perlengkapan masak seperti panci, wajan, dan lain-lain untuk bertahan hidup.
Bukan hanya dalam bidang penerbangan, tapi di banyak bidang.
Tanpa membangun ekosistem riset dan inovasi yang bagus seperti negara-negara maju, jangan harap para ilmuwan mau pulang dan berkiprah di tanah air (brain gain). Malah yang ada pun pergi ke luar negeri untuk menyelamatkan profesi mereka (brain drain).
Bukan mereka tidak memiliki rasa nasionalisme, akan tetapi menyelamatkan profesi dan ilmu adalah lebih prioritas. Jangan tangisi kepergian mereka karena kaulah yang telah menyakiti hatinya.
Mari kita nikmati saja seanandung dari Didi Kempot: “Aku nelongso mergo kebacut tresno. Ora ngiro saikine cidro” (aku nelangsa karena terlanjur cinta. Tak menyangka sekarang akan terluka).
Suherman
Analis Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.