Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kemasygulan Ilmuwan Kita

Oleh: Suherman

MELALUI Peraturan Presiden No. 112 tahun 2020, Dewan Riset Nasional (DRN) dengan resmi dinyatakan bubar. Alasan pembubaran adalah untuk efisensi, padahal dana DRN hanya Rp 4 miliar.

Tidak ada reaksi apapun dari para ilmuwan dengan pembubaran ini. Apakah keberadaan DRN memang diangap tidak penting seperti anggapan pemerintah atau para ilmuwan atau peneliti sudah tidak peduli lagi ?

Kadang gregetan memperhatikan sikap para ilmuwan kita. Greget karena para ilmuwan tidak pandai berdiplomasi dan melobi berhadapan dengan para pengabil kebijakan. Padahal, di tangan merekalah kemajuan bangsa ditentukan. Semua negara maju adalah mereka yang ipteknya maju. Itu tidak bisa di tawar, sudah menjadi hukum besi kemajuan.

Anggapan bahwa orang pintar atau jenius cenderung introvert mungkin ada benarnya. Gaya komunikasinya terkesan kaku karena memakai bahasa eksposisi yang jelas, lugas, dan saklek. “Kalau tidak percaya ya sudah”, terkesan seperti itu. Harusnya seperti politisi bila berargumentasi, jangankan mempertahankan kebenaran, mempertahankan kekeliruan saja ngotot luar biasa.

Akhirnya para ilmuwan diabaikan dalam pengambilan kebijakan dan kurang dianggap penting dalam program pembangunan. Akibatnya tidak mendapatkan anggaran yang layak, hanya 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan anggaran yang minim seperti itu, jangan harap Indonesia menjadi negara maju. Slogan yang muluk seperti Indonesia emas, macan Asia, dan lain-lain hanyalah sekadar jualan dan bualan politik belaka.

Ada yang menuduh bahwa stagnasi bahkan kemunduran pembangunan iptek di Indonesia disebabkan oleh ilmuwan sendiri yang tidak produktif dan inovatif.

Misalnya banyak yang berkomentar bahwa kita masih mengimpor barang-barang yang “sepele” seperti gula yang dihaluskan (refined sugar) untuk industri makanan dan garam dapur pro analyses untuk pembuatan garam fisiologis bagi larutan infus di rumah sakit, dan lain-lain.

Sebenarnya bukan karena ilmuwan kita tidak bisa membuat barang-barang tersebut, akan tetapi ilmu dan teknologi produksinya tidak pernah dikembangkan secara tuntas karena tidak ada dukungan dari pemerintah.

Salah satu masalah fundamental negeri kita adalah kurangnya penghargaan terhadap orang-orang pintar.

Banyak yang pulang membawa gelar PhD dan lulus dengan prestasi gemilang; begitu datang di tanah langsung lunglai, semangat rontok, dan kinerja melorot karena harus berhadapan dengan masalah-masalah elementer ditambah oleh rintangan birokrasi yang sering menjengkelkan. Memasuki dunia riset seolah memasuki labirin persoalan seperti penghasilan kecil dan sarana riset tidak memadai,

Idealisme cepat padam dan semangat cepat mengendur begitu mulai bersentuhan dengan kebutuhan keluarga untuk hidup layak. Akhirnya terpaksa mencari sampingan kiri-kanan dan kebanyakan memasuki dunia kampus karena bayarannya agak lumayan. Akhirnya banyak para ilmuwan menjadi periset paruh waktu bahkan waktunya banyak tersita di luar.

Benar kata sejarah bahwa idealisme tanpa basis material yang kokoh akan mudah goyah.

Bandingkan dengan negara-negara lain, Thailand misalnya, menyambut kepulangan PhD yang ditugaskan oleh negera bagaikan menyambut tamu agung. Begitu datang langsung dihadiahi konrak riset dengan penghasilan memdai, cukup untuk tidak lirik kiri-kanan mencari tambahan. Pemerintah mereka tahu betul bahwa orang-orang pintar harus dipelihara dan dimanja supaya tidak kabur ke luar negeri (brain drain).

Yang terpenting dari membangun kemajuan berbasis iptek adalah politik teknologi yang konsisten dilaksanakan dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya. Contoh yang bagus dari politik teknologi adalah program pengiriman manusia ke bulan oleh Amerika yang dimulai pada tahun 1960 pada masa pemerintahan John F. Kennedy.

Dilihat sepintas proyek ini tidak menguntungkan secara ekonomi, malah hanya penghamburan biaya. Akan tetapi, di kemudian hari proyek ini berhasil mendorong sistem ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan terobosan teknologi di bidang mikroelektronik, komputer, robotik, material baru, dan bioteknologi.

Dunia iptek adalah dunia yang sunyi dan sepi, makanya secara politis tidak seksi seperti kesenian dan olah raga yang penuh pesona dan daya tarik. Kalau dalam struktur bangunan, iptek itu ibarat fondasi, sangat fundamental akan tetapi tersembunyi. Kekuatan sebuah bangunan tergantung pada fondasinya.

Dari awal kemerdekaan kita menyaksikan betapa rapuhnya bangunan perkonomian kita, ditimpa angin krisis sedikit pun langsung goyah. Itu terjadi selain karena korupsi yang gigantik juga karena ekonomi kita tidak berbasis pengetahuan (knowledge-based economy), masih mengandalkan sumber daya alam seperti kegiatan ekonomi yang dilakukan dua abad yang lalu.

Tanpa membangun iptek, sampai kiamat pun Indonesia tidak akan menjadi negara maju. Kekayaan alam yang melimpah baru menjadi keunggulan komparatif dan hanya ipteklah yang bisa mentrasformasinya menjadi kekunggulan kompetitif.

Tantangan terbesar adalah bagaimana membangun kepemimpinan yang visioner yang mampu menempatkan Iptek dan inovasi pada tempat dan prioritas tinggi.

Kita hanya berharap kepada kepimpinan atau pemerintah karena merekalah yang mampu menciptakan ekosistem inovasi. Dengan memperhatikan sikap para ilmuwan yang introvert, sepertinya inisiatif perubahan ekosistem belum memungkinkan muncul dari mereka.

Di sisi lain, secara politis para ilmuwan tidak memilik posisi tawar di hadapan kekuasaan karena tidak memiliki kekuatan massa untuk menekan. Berbeda dengan para guru misalnya, untuk memperjuangkan anggaran 20 persen dalam APBN, selain melalui unjuk gigi di forum-forum ilmiah dan kemasyarakatan, mereka juga unjuk rasa sebagaimana sering dilakukan oleh para buruh, LSM, dan aktivis lainya.

Betapa pilu menyaksikan nasib pesawat N250 Gatotkaca yang diderek—bukan terbang dengan gagah—dari Bandung menuju peristirahatan terakhirnya di Museum Pusat Dirgantara Mandala Yogyakarta.

Terbang perdana tahun 1995 dan menjadi bintang pameran Indonesian Air Show 1996, setelah itu tidak pernah terdengar lagi, begitu terdengar lagi sudah “wafat”. “Sekali berarti, sesudah itu mati”, kata Chairil Anwar.

Terpuruknya PT Dirgantara Indonesia mengakibatkan larinya para ilmuwan penerebangan ke luar negeri (brain drain). Ada yang ke AS, Eropa, banyak juga yang hijrah ke Malaysia dan di sana mereka menjadi figur-figur penting penyokong industri penerbangan. Yang bertahan di tanah air ada yang menjadi politisi, pengusaha dan ada juga yang membuat perlengkapan masak seperti panci, wajan, dan lain-lain untuk bertahan hidup.

Bukan hanya dalam bidang penerbangan, tapi di banyak bidang.

Tanpa membangun ekosistem riset dan inovasi yang bagus seperti negara-negara maju, jangan harap para ilmuwan mau pulang dan berkiprah di tanah air (brain gain). Malah yang ada pun pergi ke luar negeri untuk menyelamatkan profesi mereka (brain drain).

Bukan mereka tidak memiliki rasa nasionalisme, akan tetapi menyelamatkan profesi dan ilmu adalah lebih prioritas. Jangan tangisi kepergian mereka karena kaulah yang telah menyakiti hatinya.

Mari kita nikmati saja seanandung dari Didi Kempot: “Aku nelongso mergo kebacut tresno. Ora ngiro saikine cidro” (aku nelangsa karena terlanjur cinta. Tak menyangka sekarang akan terluka).

Suherman

Analis Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI

https://www.kompas.com/sains/read/2020/12/12/120700523/kemasygulan-ilmuwan-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke