Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Pelajaran dari Meteorit Kolang yang "Hilang"

Kompas.com - 23/11/2020, 18:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEKEPING irisan meteorit Jepara terjual di balai lelang Christie dengan harga fantastis, lebih dari Rp. 900.000 per gramnya atau nyaris setara harga emas saat ini.

Meteorit Jepara adalah sebongkah besar meteorit yang sempat menghebohkan jagat permeteoritan saat ditemukan lebih dari sedasawarsa silam di lahan persawahan kecamatan Pakis Aji, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Meteorit Jepara adalah meteorit besi–batuan (siderolit) kelas pallasit yang tergolong langka. Struktur meteorit pallasit berupa kristal–kristal olivin sekualitas permata dalam ukuran sentimeter yang tertanam pada matriks besi–nikel.

Dengan bobot 500 kilogram, meteorit Jepara menjadi meteorit terberat di Indonesia saat ini bersama meteorit Prambanan. Dan keduanya adalah meteorit yang tak dipreservasi oleh institusi resmi dalam pemerintah Indonesia.

Meteorit Prambanan disimpan aman dalam lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta dan dinamakan Kiai Pamor, sementara meteorit Jepara dipreservasi dalam koleksi pribadi penemunya yang tak ingin dipublikasikan.

Kisah meteorit seharga emas sengaja saya angkat karena akhir–akhir ini, kita dihebohkan dengan cerita fantastis meteorit Kolang. Serupa dengan meteorit Jepara, harga meteorit Kolang per gramnya pun setara emas.

Di tangan orang yang tepat, meteorit menjadi layaknya permata karena kelangkaannya dan struktur uniknya. Terlebih meteorit memiliki pola regmaglypt dan Widmanstatten yang tak dijumpai pada batu permata dari Bumi.

Saya tidak menyalahkan penemu meteorit Kolang yang menjual temuannya. Ibarat harta karun, terserah penemunya mau diapakan. Tanggung jawab terletak di pundak institusi–institusi ilmiah negeri ini, khususnya yang berkecimpung di keantariksaan dan kebumian.

Mengingat meteorit ini sebenarnya tetap bisa dipreservasi di dalam negeri, "menghilangnya" meteorit Kolang ke mancanegara juga berarti hilangnya kesempatan putra–putri bangsa ini dalam menguak temuan–temuan ilmiah baru khususnya dalam ranah astrogeologi, astrokimia dan astrobiologi.

Kehilangan ini setara dengan raibnya artefak–artefak arkeologis peninggalan nenek moyang dari tanah Nusantara, yang kini bertengger nyaman di arsip para kolektor pribadi atau museum mancanegara tanpa ada peluang kembali.

Rekonstruksi

Meteorit Kolang jatuh di dusun Sitahan Barat, desa Satahi Nauli, kecamatan Kolang, kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada Sabtu sore 1 Agustus 2020 sekitar pukul 16.00 WIB.

Pecahan terbesar jatuh menembus atap rumah warga dan mendarat di samping rumah. Sementara dua pecahan lainnya mendarat di kebun dan lahan persawahan. Foto–foto yang sempat dikirim mengesankan meteorit itu menembus atap rumah dari altitudo sangat tinggi, berdekatan dengan titik zenith setempat.

Berbekal informasi ini serta koordinat lokasi dan waktu kejadian, maka kita dapat merekonstruksi asalnya.

Sebelumnya perlu kita kenali definisi meteoroid, meteor dan meteorit terlebih dahulu. Meteoroid adalah segala jenis benda padat alamiah (pecahan asteroid, remah–remah komet, kepingan–kepingan kerak planet atau satelit) yang lintasannya berpotensi berpotongan dengan orbit Bumi.

Meteor adalah meteoroid yang sudah memasuki atmosfer Bumi hingga berpijar terang. Dan meteorit adalah meteor yang masih tersisa selama perjalanannya menembus atmosfer Bumi untuk selanjutnya jatuh menumbuk paras Bumi.

Sudibyo, 2020 Rekonstruksi orbit asal meteorit Kolang berdasarkan data yang ada sejauh ini.

Meteorit Kolang semula merupakan meteoroid yang melaju secepat 16 km/detik hingga 18,5 km/detik tepat saat memasuki pucuk lapisan udara Bumi di ketinggian 120 km. Kecepatan tersebut tergolong rendah dalam rentang kecepatan meteoroid–meteoroid yang mengarah ke Bumi, sekaligus menegaskan identitasnya sebagai meteoroid dari kepingan asteroid.

Rekonstruksi orbit mengindikasikan meteoroid Kolang semula beredar mengelilingi Matahari dalam kelompok asteroid–dekat Bumi kelas Apollo, sehingga orbitnya merentang di antara orbit Bumi hingga melampaui orbit Mars atau bahkan menjangkau kawasan Sabuk Asteroid Utama.

Orbit meteoroid Kolang membentuk inklinasi 0,3º hingga 1º terhadap ekliptika dengan periode revolusi antara 1,47 hingga 3,9 tahun. Identifikasinya sebagai meteorit karbonan kondritik di kemudian hari membuat kita bisa mempertajam prakiraan orbitnya, yakni pada periode revolusi 3,9 tahun (perihelion 0,973 satuan astronomi dan aphelion 4,01 satuan astronomi).

Tentu saja angka–angka ini hanya perkiraan sangat kasar. Mengingat rekonstruksi orbit meteoroid membutuhkan minimal dua rekaman video ketampakan meteornya yang lantas ditriangulasi. Namun setidaknya memberikan gambaran betapa tamu dari langit ini sebenarnya berasal dari kawasan yang tak jauh.

Karena massa meteorit Kolang sebesar 2,5 kg, maka massa meteoroidnya diperkirakan 2,5 ton berdasarkan rule–of–thumb satu perseribu. Diameter meteoroidnya diprakirakan 1,4 meter.

Saat memasuki atmosfer Bumi, meteoroid berpijar terang hingga mencapai magnitudo –8,5. Tingkat terang itu jauh lebih tinggi ketimbang Venus namun masih lebih redup dibandingkan Bulan purnama. Pada tingkat terang tersebut, meteor Kolang dapat dilihat mata meski muncul di siang hari, dengan syarat pengamat betul–betul memusatkan pandangannya ke langit dan langit dalam kondisi sempurna.

Rekonstruksi juga mengindikasikan meteor Kolang mulai terpecah–belah pada ketinggian sekitar 70 kilometer di atas paras Bumi. Pemecahbelahan terus berlangsung kian jauhnya meteor masuk menembus lapisan–lapisan udara Bumi.

Pada ketinggian sekitar 55 kilometer, brutalnya proses pemecahbelahan mencapai puncaknya sehingga terjadi pelepasan energi yang menyerupai ledakan di udara (airburst). Energi airburst sekitar 0,1 kiloton TNT, tergolong kecil.

Dengan energi sekecil itu, dampak gelombang kejut dan sinar panasnya sama sekali tak menyentuh desa Sitahan Nauli tepat di bawahnya, kecuali gelegar suara dentuman yang merupakan gelombang akustik.

Meteorit dengan asam amino

Keping–keping meteor Kolang yang selamat dari peristiwa airburst melanjutkan perjalanannya hingga mencapai paras Bumi. Saat menyentuh tanah, kecepatannya diperkirakan tinggal antara 100 hingga 150 km/jam. Jauh lebih lambat dibanding peluru.

Meteorit yang berasal dari meteoroid kecil (massa di bawah 7 ton) selalu menumbuk tanah dengan kecepatan paling lambat akibat besarnya gaya gesek udara, sehingga kecepatan akhirnya sepenuhnya gerak jatuh bebas.

Meteorit Kolang merupakan meteorit karbonan kondritik, terbentuk dari kondrul (butir–butir) yang menggumpal jadi satu lewat proses breksiasi. Kondrul itu merupakan sisa–sisa planetisimal dari masa pembentukan tata surya kita. Maka usianya sudah cukup tua, rata–rata 4,5 milyar tahun.

Meteorit ini mengandung cukup banyak unsur Karbon yang bukan Karbon bebas. Hanya 4,6 % dari seluruh meteorit yang telah ditemukan yang tergolong meteorit karbonan kondritik. Jadi meteorit Kolang tergolong cukup langka.

Sebagai meteorit karbonan kondritik, meteorit Kolang tergolong ke dalam grup CM dengan ciri khas kandungan unsur Karbon 0,6 hingga 2,8 % dan kandungan air 4 hingga 18 %. Karbon tersebut terikat pada senyawa–senyawa karbon kompleks seperti hidrokarbon, senyawa aromatik, glukosa (gugus alkohol dan amida), gugus amina dan asam–asam amino. Sementara air terikat pada mineral–mineral tertentu sebagai air–kristal.

Secara fisis meteorit karbonan kondritik memiliki massa jenis rendah dan sangat berpori. Meski sifatnya tak seperti batu apung.

Dengan kelimpahan kimiawi demikian tak heran jika sebagian astronom, khususnya yang berspesialisasi dalam ranah astrobiologi, menganggap meteorit karbonan kondritik adalah petunjuk benih–benih kehidupan telah ada sedari awal tata surya terbentuk.

Terutama dicirikan oleh keberadaan asam amino. Singkatnya, nebula yang berkondensasi membentuk proto–tata surya kita juga merupakan ‘sup’ asam amino dan gula yang menjadi salah satu komponen dasar makhluk hidup.

Jadi bayangkan, dengan kedudukan sepenting itu, berapa cendekiawan yang bisa dilahirkan dari riset–riset terkait meteorit ini?

Setiap hari 44 ton meteoroid memasuki atmosfer Bumi. Dari ribuan meteor yang terbentuk, rata–rata 17 meteor di antaranya merupakan meteor yang memproduksi meteorit. Namun dua per tiga paras Bumi adalah lautan, sementara seperempat daratan tidak menjadi ajang hunian dan aktivitas manusia.

Maka peluang ketampakan sebuah meteor yang bisa memproduksi meteorit dan terlihat dari pemukiman manusia menjadi tinggal 1 meteor per tahun. Secara statistik setiap kilometer persegi paras Bumi akan mendapatkan sebutir meteorit dalam 50.000 tahun.

Jadi, kejadian jatuhnya meteorit cukup langka dan jatuhnya meteorit karbonan kondritik seperti Kolang jauh lebih langka lagi.

Sepanjang catatan sejarah, sebelum Kolang hanya ada satu kejadian meteor yang memproduksi meteorit karbonan kondritik di Indonesia, yakni pada 24 Mei 1933 di Banten, dengan massa meteoritnya hanya 600 gram. Kini meteorit Banten pun sudah tak ada lagi jejaknya di bumi Pertiwi. Hanya bisa ditemukan di beberapa museum dan koleksi pribadi.

Di sini, tak elok bila kita menyalahkan penemu yang lebih memilih menjual temuannya ke mancanegara. Bahwa penemu berkehendak bertransaksi sebagai bagian memperbaiki taraf ekonominya, itu sah–sahnya saja.

Namun Indonesia dapat mengupayakan agar meteorit yang jatuh di negeri ini tetap bisa dipreservasi dengan baik di tanah air. Institusi–institusi keantariksaan dan kebumian seharusnya berperan aktif dalam upaya ekskavasi hingga preservasi setiap kejadian jatuhnya meteorit di Indonesia.

Berdasarkan regulasi, peran keantariksaan ini diemban LAPAN. Sementara preservasi selama ini dilakukan oleh Museum Geologi Bandung, kecuali meteorit Tambakwatu Pasuruan yang dipajang di Planetarium dan Observatorium Jakarta dan meteorit Wonotirto disimpan di gedung pemerintahan Kabupaten Temanggung.

Tentu butuh koordinasi dan sinergi para pihak agar kejadian "hilangnya" meteorit Kolang tak lagi terulang. Selain menjadi harta berharga yang patut disimpan untuk dikenang kepada anak cucu kita, preservasi meteorit di tanah air membuka peluang untuk kian mencerdaskan anak–anak bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com