Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Molase, Campuran Madu Palsu yang Buruk untuk Kesehatan Kita

Kompas.com - 11/11/2020, 10:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Belum lama ini Polda Banten menangkap pembuat madu palsu di wilayah Joglo, Kembangan, Jakarta Barat.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya, madu yang dijajakan dengan harga Rp 25.000 itu adalah hasil campuran dari glukosa, fruktosa, dan molase.

Kasubdit Indag 1 Kriminal Khusus Polda Banten AKBP Doffie Pahlevi menjelaskan bahwa molase merupakan salah satu campuran pakan ternak yang berbahaya jika dikonsumsi manusia.

Apa sebenarnya molase?

Baca juga: Awas Madu Palsu, Mengandung Campuran Bahan Berbahaya untuk Dikonsumsi Manusia

Pakar toksikologi Universitas Indonesia (UI) Dr. Rer. Nat. Budiawan menjelaskan, molase (bahasa Inggris molasses) merupakan produk sampingan dari industri pengolahan gula atau tebu.

"Karena dia cairan kental, masyarakat mengenalnya (molase) sebagai tetes tebu," kata Budiawan kepada Kompas.com, Rabu (11/11/2020).

Molase sendiri memang menghasilkan warna keruh cokelat yang mirip madu.

Kendati warnanya mirip, rasa manis yang dihasilkan molase tidak sama dengan madu asli.

Ini karena molase memiliki kandungan glukosa sebanyak 40-50 persen dan sisanya kandungan natrium dan sodium.

"Karena molase adalah produk sampingan, kita harus hati-hati dalam konteks ini karena dia bukan produk utama. Jadi bisa dikatakan limbah, tapi masih bisa dikelola dengan baik," ujarnya.

"Istilah produk samping itu maksudnya tidak murni suatu produk, tapi di luar proses (pembuatan) gula utamanya," jelas dia.

Dampak molase

Budiawan mengatakan, sejumlah bukti yang dilakukan di negara-negara penghasil gula atau tebu, seperti di Kuba atau Amerika Latin, menemukan efek buruk molase jika dikonsumsi manusia.

"Kasusnya memang tidak banyak. Tapi ada dugaan-dugaan bahwa kandungan natrium dan sodiumnya yang banyak berpotensi meningkatkan hipertensi," ujar dia.

Selain hipertensi, ada juga bukti yang menyatakan bahwa molase dapat memicu terjadinya gangguan sistem saraf pusat.

"Kasus-kasus di Indonesia memang belum banyak ditemukan dan memang kita belum concern ke arah itu," ungkapnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com