Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cuaca Lebih Panas Selama Kehamilan Tingkatkan Risiko Kelahiran Prematur

Kompas.com - 08/11/2020, 17:05 WIB
Dinda Zavira Oktavia ,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kesehatan manusia terancam langsung akibat adanya perubahan iklim, bahkan ada bukti yang berkembang dan menunjukkan bahwa cuaca panas yang lebih panas dari biasanya ini mengancam kesehatan ibu hamil.

Analisis baru dari 70 penelitian di seluruh dunia menemukan, suhu yang lebih tinggi selama kehamilan menyebabkan peningkatan kelahiran prematur dan lahir mati, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Melansir Science Alert, (8/11/2020), perubahan iklim yang semakin intens dan menyebabkan gelombang panas membuat para ilmuwan khawatir akan berdampak besar pada kesehatan masyarakat di masa mendatang, meski saat ini risikonya masih relatif kecil.

Baca juga: Hadapi Perubahan Iklim, Bunga di Seluruh Dunia Alami Perubahan Warna

Menurut para peneliti, sama seperti anak-anak kecil, orang tua, dan mereka yang memiliki masalah kesehatan sebelumnya, ibu hamil juga harus diberi peringatan terkait bahaya cuaca panas ekstrem.

Membawa janin membuat ibu hamil harus menghadapi berbagai tuntutan baru pada tubuh manusia, memaksa jantung untuk bekerja lebih keras, meningkatkan suhu internal, dan membuat tubuh rentan terhadap tekanan panas, kelelahan, dan dehidrasi.

"Ibu hamil pantas mendapat tempat di samping kelompok yang biasanya dianggap berisiko tinggi akibat cuaca panas," demikian kesimpulan tim internasional.

Bidang penelitian ini masih tergolong baru, tetapi dari apa yang kita ketahui selama ini, ada alasan untuk mengkhawatirkan ibu dan bayinya.

Dalam literatur yang lebih besar, polanya konsisten dan mengkhawatirkan, meski memang belum ada studi yang masuk dalam tinjauan saat ini yang sempurna atau mampu memberikan sebab atau akibat yang jelas.

Sebuah studi observasi yang diterbitkan tahun lalu berdasarkan penilaian 56 juta kelahiran di AS mengidentifikasi hubungan antara kenaikan suhu dan menyusutnya periode kehamilan.

"Ketika semakin banyak penelitian mulai menumpuk dan menyatu di sekitar kesimpulan yang sama, kita harus memerhatikan, terutama ketika ada kemungkinan biologis di balik hasilnya," jelas dokter kandungan-ginekolog Nathaniel DeNicola dalam makalah terpisah tahun 2019 tentang subjek tersebut.

Baca juga: Pandemi Mengancam Ibu Hamil dan Anak-anak, Pemerintah Diminta Optimalkan Posyandu

Dengan menganalisis lebih banyak penelitian tentang subjek dibandingkan sebelumnya, meta analisis saat ini telah meneliti bagaimana sensitivitas panas memengaruhi tiga hasil dalam kehamilan: lahir mati, kelahiran prematur, dan berat lahir rendah.

Riset tersebut berasal dari 24 negara yang sebagian besar berbasis di Amerika Utara, Uni Eropa, Australia, dan Selandia Baru, meski demikian tujuh di antaranya berasal dari negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Untuk setiap kenaikan suhu 1° C, para peneliti menemukan risiko kelahiran dini dan lahir mati meningkat rata-rata sekitar 5 persen.

Dalam gelombang panas yang berkepanjangan, risiko kelahiran dini meningkat 16 persen.

Dari analisi tersebut, angka rata-rata global kelahiran prematur adalah sekitar 10 persen, sehingga dampak panas ekstrem, relatif kecil dibandingkan dengan semua faktor lain yang dapat memengaruhi kehamilan.

Analisis menunjukkan berat badan lahir rendah, misalnya, terjadi hanya pada 3 persen bayi yang lahir selama gelombang panas, dan hubungan tersebut lebih jarang ditemukan.

Baca juga: Tips Jaga Kehamilan Aman bagi Ibu Hamil di Tengah Pandemi Covid-19

Sementara itu, hanya 18 dari 28 penelitian menemukan hubungan antara berat lahir dan paparan cuaca panas, 40 dari 47 penelitian menemukan hubungan antara kelahiran prematur dan paparan cuaca  panas.

"Itu adalah bukti paling kuat dan paling konsisten untuk gelombang panas, meskipun ukuran efek terbesar berasal dari ukuran dosis kumulatif panas selama seluruh kehamilan," tulis penulis penelitian.

Ini berarti, efek paparan cuaca panas bisa meningkat selama kehamilan, meskipun hasilnya tampaknya berfluktuasi antara kelompok sosial ekonomi tertentu.

Misalnya, sementara beberapa penelitian menunjukkan kehamilan berpenghasilan rendah dan menengah rentan terhadap paparan cuaca panas selama sembilan bulan penuh, penelitian lain di negara berpenghasilan tinggi menunjukkan minggu-minggu terakhir kehamilan adalah masa yang paling berisiko terhadap paparan cuaca panas.

Metodologi berbeda yang digunakan dan berbagai subpopulasi yang diteliti membuat sulit untuk menggeneralisasi.

Terlebih lagi, hampir sepertiga dari studi yang disertakan dianggap berkualitas rendah, yang berarti kesimpulan yang dapat ditarik terbatas.

Beberapa penelitian, menemukan angka kelahiran prematur meningkat hanya ketika suhu melebihi 25° C, dan ini dapat menjelaskan mengapa penelitian lain, yang hanya memasukkan suhu di bawah ambang batas ini, tidak menunjukkan hasil yang serupa.

Ada begitu banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dan dikontrol terkait hasil kehamilan, termasuk pendidikan, akses ke perawatan kesehatan, keamanan pangan, dan ketersediaan AC. Bahkan, jenis kelamin janin mungkin berperan.

Baca juga: Makanan Apa yang Harus Dikonsumsi agar Cepat Hamil?

Sebuah studi di Jepang, misalnya, menemukan bahwa keguguran lebih tinggi pada janin laki-laki setelah periode paparan cuaca panas. Dari semua 70 studi tersebut, tinjauan baru menemukan pola yang sama.

Apa yang mendorong hasil ini tidak jelas. Beberapa penelitian pada hewan menemukan paparan cuaca panas selama kehamilan dapat mengganggu sintesis protein kejutan panas, yang menyebabkan kerusakan sel janin, stres oksidatif, atau pembengkakan. Apakah ini berlaku pada manusia, masih harus dilihat lebih lanjut.

Penelitian lebih lanjut harus menjadi prioritas utama, terutama karena risiko kehamilan pada gelombang panas tampak jauh lebih tinggi di daerah yang perlindungannya jauh lebih sedikit.

"Paparan suhu tinggi di pertanian dan pekerjaan luar ruangan lainnya, bisa terjadi sebelum kehamilan dikenali, dan, bahkan di akhir kehamilan. Wanita yang lebih miskin mungkin bekerja di luar batas toleransi panas mereka untuk menghindari kehilangan pendapatan," kata penulis.

Dari apa yang kita ketahui sejauh ini, hal tersebut memprihatinkan. Namun hingga saat ini, banyak rencana darurat panas di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat dan Eropa, gagal memasukkan ibu hamil sebagai kelompok rentan.

"Ibu hamil sebagai kelompok yang berisiko terhadap perubahan iklim sebagian besar diabaikan. Hal ini tentu harus diubah,"  kata Skye Wheeler, seorang peneliti darurat untuk Divisi Hak Asasi Wanita. 

Baca juga: Survei: 90 Persen Anak Muda Indonesia Khawatirkan Dampak Krisis Iklim

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com