Hasil kerja tim peneliti tersebut akhirnya dapat dipublikasikan dalam majalah ilmiah internasional, Ocean Science Journal (https://rdcu.be/b14ic) pada tahun 2020.
Hasilnya, perhitungan neraca karbon padang lamun di Indonesia dapat dilakukan dengan memanfaatkan formula yang telah dikembangkan. Data dasar terkait padang lamun (biomassa, kepadatan, dan persentase tutupan) yang banyak tersedia di lembaga penelitian daerah dan universitas dapat dikonversi ke nilai neraca karbon dengan formula yang tersedia pada publikasi ilmiah tersebut.
Hasil riset tersebut juga dapat memperkirakan total cadangan karbon yang tersimpan di ekosistem padang lamun Indonesia yaitu sekitar 1.005 kilo ton karbon dengan potensi penyerapan karbon sebesar 7,4 mega ton karbon per tahun. Rata-rata cadangan karbon lamun di Indonesia tercatat maksimum sebesar 0,36 dan 0,79 ton karbon per hektar, masing-masing untuk cadangan karbon atas dan bawah permukaan.
Sebagai tindak lanjut agar hasil riset dapat dengan mudah dipakai oleh pemangku kepentingan, maka dikembangkanlah sebuah aplikasi berbasis web, yaitu Seagrass Carbon Converter (http://scc.oseanografi.lipi.go.id/).
SCC dibuat dengan mengacu pada formula untuk mengkonversi nilai biomas, kepadatan dan persentase tutupan lamun menjadi nilai cadangan dan serapan karbon.
SCC diharapkan menjadi alternatif yang memudahkan bagi praktisi di daerah dalam hal pelaporan potensi neraca karbon biru ekosistem padang lamun. Pelaporan-pelaporan semacam ini biasanya secara rutin diminta oleh sekretariat PRK untuk dipantau dan dievaluasi dalam kaitannya target penurunan emisi karbon.
Berdasarkan nilai rata-rata cadangan karbon padang lamun nasional, maka kita bisa menentukan faktor emisi aktivitas antropogenik alih guna lahan padang lamun yaitu sebesar 0,05 ton karbon. Nilai ini adalah 4% dari rata-rata cadangan karbon (jumlah cadangan karbon atas dan bawah permukaan = 1,15 ton karbon).
Konstanta 4% berdasarkan hasil riset sebelumnya bahwa, setiap hektar padang lamun akan mulai melepas karbon ke udara secara bertahap sebesar 4% per tahun dari total cadangan karbon tersimpan, dimulai sejak terjadinya kerusakan atau alih guna lahan.
SCC dalam konteks penentuan faktor emisi dan pelaporan PRK, dapat dimanfaatkan berbasis data lokal sesuai dengan luasan area, kepadatan, biomassa maupun persentase tutupan padang lamun. Sehingga faktor emisi juga dapat ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi riil di daerah dimana padang lamun berada.
Hal ini cukup relevan dengan fakta bahwa kondisi padang lamun akan berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya mengikuti skala mikro atau meso ekosistem. Artinya, dengan demikian SCC dapat memenuhi target Tier 2 (atau bahkan Tier 3) dalam konteks aksi mitigasi perubahan iklim.
Dr. A’an Johan Wahyudi
Diplomat Sains ASEAN 2020; Peneliti Madya Bidang Biogeokimia Laut Pusat Penelitian Oseanografi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.