Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demam Babi Afrika, Apakah Berbahaya Bagi Manusia?

Kompas.com - 15/09/2020, 08:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Bangkai seekor babi hutan yang ditemukan di Jerman positif terinfeksi African swine fever atau ASF. Penyakit demam babi ini bisa menular ke babi di peternakan dan sangat mematikan. Tapi apakah berbahaya bagi manusia?

African swine fever (ASF) atau demam babi Afrika, normalnya tidak berbahaya bagi manusia.

Namun untuk babi ternak, penyakit akibat virus ini berdampak mematikan.

Inilah yang memicu kekhawatiran di kalangan peternak babi Jerman, setelah kementerian pertanian federal mengumumkan bangkai seekor babi positif terinfeksi ASF.

Menurut pengumuman yang disiarkan Kamis (10/9/2020), bangkai babi itu berasal dari negara bagian Brandenburg di kawasan dekat perbatasan ke Polandia.

Baca juga: Hampir 30.000 Babi di Sumut Mati karena Demam Babi Afrika, Wabah Asia

Temuan ini tidak mengejutkan kalangan peternak maupun pejabat kementerian pertanian.

Pasalnya sejak bulan November 2019 untuk pertama kalinya terdeteksi infeksi ASF pada seekor babi buta di kawasan barat Polandia.

Karena itu negara-negara tetangga Polandia, termasuk Jerman, sudah siaga menghadapi penyebaran penyakit demam babi Afrika itu melintas perbatasan dibawa babi hutan.

Apa sebetulnya penyakit ASF?

Penyakit demam babi Afrika atau ASF dipicu oleh virus yang menyerang babi hutan atau babi peliharaan di peternakan.

Binatang yang terinfeksi mengalami demam tinggi dan pendarahan di organ bagian dalam tubuhnya. Sekitar 90 persen babi hutan yang terinfeksi ASF mati dalam jangka waktu seminggu.

Penyakitnya menular lewat kontak dengan cairan tubuh atau darah babi hutan atau babi ternak yang terinfeksi.

Virus masih tetap aktif dalam bangkai hewan yang mati akibat penyakitnya, bahkan sampai beberapa bulan atau tahun. Tapi penyakit ini biasanya tidak menular pada manusia.

Dari mana asal penyakit?

Seperti tersirat dari namanya, penyakit swine fever atau demam babi ini asalnya dari Afrika.

Diagnosa pertama berasal dari tahun 1910 saat Inggris menjajah Kenya.

Bersama dengan kolonialisme juga para penjajah membawa ternak babi Eropa ke Afrika Timur. Petenakan besar jadi persemaian ideal bagi virus ASF. Dan petenak babi di Afrika berulangkali dilanda wabah ini pada abad yang lalu.

Demam babi Afrika pertama kalinya masuk ke Eropa tahun 2007 lewat kawasan Kaukasus, dari sana kemudian menyebar ke Rusia lalu ke kawasan Baltik, Polandia dan negara-negara Eropa timur lainnya.

Bulan Septembar 2018 penyakit demam babi ditemukan di Belgia. Tahun 2020 Jerman mengkonfirmasi menemukan bangkai seekor babi hutan yang mati akibat ASF.

Personel Babinsa TNI mengangkat bangkai babi dari aliran Sungai Bederah, untuk dikubur, di Kelurahan Terjun, Medan, Sumatera Utara, Selasa (12/11/2019). Sedikitnya 5.800 ekor babi mati diduga akibat wabah virus Hog Kolera dan African Swine Fever atau demam babi Afrika di 11 kabupaten/kota di Sumut.ANTARA FOTO/IRSAN MULYADI Personel Babinsa TNI mengangkat bangkai babi dari aliran Sungai Bederah, untuk dikubur, di Kelurahan Terjun, Medan, Sumatera Utara, Selasa (12/11/2019). Sedikitnya 5.800 ekor babi mati diduga akibat wabah virus Hog Kolera dan African Swine Fever atau demam babi Afrika di 11 kabupaten/kota di Sumut.

Bagaimana cara penyebaran Virus?

Di Afrika virus menular lewat sejenis kutu. Di Eropa penyebarannya terutama lewat impor babi yang terinfeksi atau produk olahan daging babi seperti sosis babi, atau akibat tidak menerapkan aturan higiene.

Babi hutan sebetulnya hanya memainkan peranan sangat kecil dalam penyebaran virusnya.

Faktor risiko terbesar dalam penyebaran wabah ASF adalah manusia. Banyak yang membuang sisa daging secara sembarangan.

Sementara di peternakan atau pertanian, masih banyak yang tidak mengindahkan aturan higiene. Padahal aturan ini dibuat untuk melindungi ternak dari penyakit dan juga peternaknya dari kerugian ekonomi.

Apakah sudah ada vaksinnya?

Sejauh ini di kawasan Uni Eropa belum ada vaksin anti ASF. Di seluruh dunia, dilakukan risetnya dalam beragam cara.

China tergolong negara yang paling depan dalam riset vaksin anti demam babi ini, karena wabahnya pada tahun 2018 di China menimbulkan kerugian ekonomi besar.

Itu sebabnya, China menjadi negara pertama yang melarang impor daging babi dari Jerman, sebagai tindakan preventif.

Para peneliti China mengumumkan bulan Maret 2010, berhasil mengembangkan vaksin yang aman, yang mampu melindungi babi dari ASP.

Ujicoba lapangan pertama dilaporkan sukses. Ujicoba kini akan dilaklukan dalam skala lebih luas.

Namun diragukan bahwa vaksin ini bisa dengan cepat diizinkan beredar di Eropa.

Pasalnya, vaksin buatan China diproduksi pada babi hidup di dalam sum-sum tulang belakangnya.

Baca juga: CDC China: Virus Flu Babi Baru Tidak akan Jadi Pandemi Secepat Itu, Ini Penjelasannya

Sementara aturan di Eropa, vaksin harus dibuat dari kultur sel bersertifikat di laboratorium.

Vaksin buatan China dikembangkan pada babi peliharaan di rumah, bukan untuk babi di peternakan.

Jika vaksin untuk babi peliharaan yang aman sudah dipasarkan, vaksinnya akan diujicoba pada babi hutan.

Untuk itu diperlukan rangkaian uji coba panjang dalam beberapa fase. Dengan itu diharapkan penyebaran wabah lewat babi hutan bisa diredam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com