Oleh Surahmat
DUA tokoh intelektual Indonesia terlibat polemik tentang netralitas kata.
Pengamat bahasa Indonesia Ivan Lanin mengatakan bahwa kata itu netral. Pendapat itu ditangkis oleh novelis Eka Kurniawan yang menyatakan pendapat sebaliknya: kata tidaklah netral.
Perdebatan ini segera menjadi besar bukan hanya di kalangan ilmuwan bahasa, tapi juga menyita perhatian publik lebih luas karena bahasa adalah alat komunikasi seluruh anggota masyarakat.
Tidak, kata tidak netral. Kata tidak lahir dari kekosongan. Ia diciptakan manusia (dg niat, emosi, nilai, dll), sama tidak netralnya ketika dibaca/dipakai (juga oleh manusia yg punya niat, emosi, nilai, dll). https://t.co/iVk4bX6Hu1
— Eka Kurniawan (@gnolbo) August 29, 2020
Dari sudut pandang keilmuan, saya sepakat dengan Eka bahwa kata tidaklah netral; mereka bersifat politis dan ideologis.
Teori-teori bahasa mutakhir terkait hakikat, fungsi, dan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari mendukung argumen tersebut.
Dalam dunia kebahasaan, polemik netralitas kata bukanlah hal baru.
Secara tak langsung, perdebatan ini telah hadir sejak awal ke-19 dan sejauh ini argumen bahwa kata tidak netral lebih meyakinkan.
Pemikiran bahwa bahasa itu hanya lambang dan penanda yang bersifat netral umumnya didukung kelompok linguis struktural, yaitu kelompok ahli bahasa yang memfokuskan kajiannya pada aspek struktur bahasa.
Salah satu tokohnya yang paling berpengaruh adalah filsuf dari Swiss, Ferdinand de Saussure, yang membuat pembedaan-pembedaan antara tanda dan penanda.
Pandangan kelompok linguis struktural dikritik oleh aliran linguistik fungsional yang memandang struktur formal bahasa ditentukan oleh fungsi-fungsi sosialnya. Kelompok yang mulai berkembang tahun 1960-an ini berusaha melihat pentingnya ikatan antara bahasa dengan masyarakat yang justru diabaikan oleh kelompok struktural.
Tokoh linguistik fungsional dari Inggris, MAK Halliday, menunjukkan bahwa fungsi sosial bahasa sangat memengaruhi bentuk formal bahasa.
Ketika ikatan antara bahasa dengan fungsi sosialnya terungkap, ikatan bahasa dengan gejala lain di luar bahasa diketahui semakin banyak. Kelompok ini juga mengatakan bahwa bahasa ternyata juga memiliki ikatan dengan ide, keyakinan, nilai-nilai, dan praktik sosial.
Berkembangnya kelompok linguistik fungsional ini kemudian diikuti oleh lahirnya aliran kritis dalam ilmu kebahasaan pada awal 1990-an.
Salah satu pelopor aliran ini adalah linguis dari Lancaster University, Inggris, Ruth Wodak.