Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

75 Tahun Kemerdekaan RI, Masyarakat Adat Masih Berjuang untuk Kesetaraan

Kompas.com - 17/08/2020, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Mereka pelestari kebudayaan-kebudayaan lokal Indonesia, merekalah yang merawat identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan budaya,” jawabnya.

Penjaga hutan

Masyarakat Adat memiliki peran yang penting dalam melindungi hutan dan lingkungan bagi Indonesia.

Selama berinteraksi dengan komunitas ini lebih dari 10 tahun, Antropolog Sophie Chao, dalam riset terbaru tentang Masyarakat Adat Marind-Anim di kabupaten Merauke di Papua, mengatakan mereka “merawat hutan, menghormati semua tanaman dan hewan, dan memelihara hubungan dengan alam.”

Di bawah pemerintahan presiden Soekarno, Masyarakat Adat mendapatkan pengakuan melalui UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Peraturan ini mengakui keberadaan hutan adat sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.

Ketika Soeharto mengambil tampuk pemerintahan di tahun 1966, ada penghancuran sistematis pada lembaga-lembaga adat melalui penyeragaman institusi desa, perampasan wilayah-wilayah adat melalui penetapan kawasan hutan dan pemberian ijin-ijin kehutanan, pertambangan dan perkebunan-perkebunan besar, jelas Sandra.

“Sebagian wilayah adat juga diklaim pemerintah secara sepihak untuk diserahkan kepada transmigran dan TNI/Polri,” tambahnya.

Menuju pengakuan hak-hak masyarakat adat

Perubahan bagi Masyarakat Adat mulai terlihat ketika berakhirnya masa Orde Baru tahun 1998.

Amandemen ke-2 UUD 1945, yang berlaku pada tahun 2000, akhirnya mengakui “kekayaan budaya tradisional” dan “nilai-nilai budaya” dari Masyarakat Adat, pada Pasal 18b Ayat 2.

Ini kemudian menjadi dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan Hutan Adat sebagai hutan negara di tahun 2012, atau lebih sering disebut sebagai MK35.

Perkembangan berikutnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mulai menghidupkan kembali wacana RUU Masyarakat Hukum Adat, yang diharapkan bisa memperkuat eksistensi kelompol ini, sekaligus menyelesaikan konflik berkepanjangan terkait dengan status hutan adat.

“Tapi, semakin ke sini tetap saja kok rasanya semakin sulit untuk bisa jalankan peraturan-peraturan ini. Bukannya RUU MHA, malah pemerintah dan DPR terbitkan Omnibus Law,” protes Rukka Sombolinggi.

Rukka juga menyebutkan bahwa masyarakat adat kini menghadapi bentuk lain “kolonialisme.”
Sejak desentralisasi tahun 2001, para kepala daerah (bupati dan gubernur) berhak mengeluarkan ijin di atas kawasan hutan, termasuk hutan adat. Hal ini lebih banyak dilakukan tanpa persetujuan dari masyarakat adat.

“Kami ini tidak lagi melawan perusahaan yang asing-asing, tapi sudah (melawan) orang sendiri, kayak bupati, gubernur. Itu kan orang di daerah sendiri,” jelasnya mengutip pidato Soekarno yang terkenal : “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.”

Masa depan

Selama pandemi, masyarakat adat yang masih setia mempraktikkan pengetahuan tradisional mereka ternyata kelompok yang paling resilien karena dekat dengan alam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com