KOMPAS.com- Tren merokok pada remaja masih terjadi dan terus meningkat hingga saat ini. Dengan dalih mengganti rokok konvensional, remaja memilih menggunakan rokok elektrik.
Berdasarkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2019, prevalensi pelajar usia 13-15 tahun yang mengonsumsi rokok elektrik mencapai 13,7 persen dalam bulan terakhir.
Sementara, berdasarkan data Riskesdas (2018), prevalensi pengguna rokok elektronik tertinggi pada Provinsi DI Yogyakarta, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta.
Peneliti Pusat Litbang SDPK-Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, Tati Suryati menjelaskan rokok elektrik ini menjadi tren di kalangan pelajar usia 13-15 tahun, karena mudah didapatkan dan dianggap menarik.
Baca juga: Buktikan Bahaya Kandungan Rokok Elektrik, Ini Hasil Risetnya
Pelajar usia 13-15 tahun khususnya, kata Tati, sangat rentan mengonsumsi rokok elektrik jika ditawarkan oleh teman dekatnya. Bahkan mencapai presentasi 27,8 persen.
Serta, tidak sedikit juga pendapat pelajar yang mencampur konsumsi rokok elektrik ini dengan narkoba dan sejenisnya, yaitu mencapai 15,9 persen.
"Anak laki-laki lebih tinggi (prevalensi konsumsi rokok elektrik) dibandingkan wanita," kata Tati dalam diskusi bertajuk Upaya Advokasi Kebijakan Berbasis Data Guna Melindungi Anak dan Remaja Jadi Target Industri Rokok, Rabu (17/6/2020).
Baca juga: Rokok Elektrik Bukan Alternatif Berhenti Merokok, Ini Penjelasan Ahli
Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC), Dr Sumarjati Arjoso SKM mengingatkan rokok elektrik sebenarnya bukanlah alternatif untuk Anda yang ingin berhenti dari rokok konvensional.
Sebab, dari berbagai penelitian telah terbukti bahwa rokok elektronik itu bukan membuat penggunanya lebih baik, tetapi justru memiliki ancaman bahaya yang lebih besar.
Ia menjelaskan, pada cairan rokok elektronik atau vape tersebut sering dicampur dengan bahan kimia yang memicu keluhan berupa asma, merusak paru dan jantung, serta penyebab kanker.