"Jika (rokok elektrik) digunakan pada usia lebih muda dapat menghambat perkembangan otak," tutur dia.
Namun, penggunaan rokok elektrik ini semakin menjadi tren yang berkelanjutan dan jelas memiliki dampak yang sangat buruk bagi penggunanya terutama anak muda.
"Hingga saat ini belum ada regulasi yang jelas mengatur terkait rokok elektronik itu," ujar dia.
Hal ini, kata Sumar, akan sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan bonus demografi yang diharapkan mampu mengubah arah bangsa, dengan memanfaatkan masyarakat usia produktif yang jauh lebih banyak daripada usia konsumtif.
Baca juga: Ahli: Konsumsi Rokok Penduduk Miskin Meningkat, Ini Memperparah Kemiskinan
Tati menambahkan persoalan ini seharusnya menjadi penting untuk dipercepat regulasi dan program berhenti merokok pada anak remaja.
Pasalnya, kata dia, dari data survei GYTS itu juga didapatkan sebanyak 82 persen partisipan pelajar yang di survei memiliki keinginan untuk berhenti merokok.
Hanya saja, baru 23 persen yang benar-benar mendapatkan perhatian dan bimbingan dari profesional terkait program berhenti merokok pada anak remaja ini.
Baca juga: Rokok Elektrik Bukan Pilihan Sehat Pengganti Rokok
"Keinginan remaja untuk berhenti merokok itu cukup tinggi. Tapi, justru yang mendapatkan pertolongan atau program dari profesional itu masih rendah. Jadi ini ada gap," jelas Tati.
Oleh sebab itu, dukungan untuk pelaksanaan program berhenti merokok, baik rokok elektrik maupun konvensional, bagi remaja ini memang sangat diperlukan di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.