Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Ignatia Karina Hartanto

PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM

Tak Putus Harapan, Kisah Syafa Melawan Penyakit Langka Batten Disease

Kompas.com - 09/06/2020, 17:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: dr. Ignatia Karina Hartanto bersama dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A dan Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K)

NAMANYA Syafa, usianya menginjak 9 tahun pada bulan September nanti. Wajahnya cantik. Namun, tidak seperti anak lain, ia hanya bisa terbaring, tidak bisa bermain kesana kemari.

Syafa terkena penyakit langka yang saat ini belum dapat diobati dan menghilangkan kemampuannya untuk berjalan serta berkomunikasi. Selain itu, Syafa juga harus dibantu berbagai macam obat dan susu khusus untuk mengontrol kejang pada tubuhnya.

Penyakit yang dialami Syafa akan membuat penderitanya mengalami kejang terus-menerus yang sulit dikontrol, kehilangan penglihatan, dan kemuduran perkembangan hingga kehilangan fungsi sama sekali.

Penyakit itu adalah Neurosis Ceroid Lipofuscinosis (NCL) yang lebih familiar dengan sebutan Batten disease, diambil dari nama seorang dokter berkebangsaan Inggris yang pertama kali mengidentifikasi penyakit tersebut pada tahun 1903.

Sebagai penyakit dengan kelainan genetik, Batten disease tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian yang bervariasi. Di Indonesia, dengan populasi sekitar 270 juta penduduk, saat ini terdapat 6 pasien dengan Batten disease yang masih bertahan hidup, termasuk Syafa.

Sejak tahun 2018, tanggal 9 Juni dijadikan hari kesadaran internasional mengenai Batten disease (International Batten Disease Awareness Day). Penetapan tanggal tersebut menjadi tonggak sejarah untuk komunitas global Batten disease untuk membangun kesadaran publik terhadap keberadaan penyakit ini dan kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut.

Tema tahun ini adalah "Come together", yang menekankan persatuan komunitas Batten disease di seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat global terhadap penyakit langka ini.

Tingkat kejadian penyakit ini bervariasi di seluruh dunia. Bagian utara benua Eropa memiliki tingkat kejadian yang lebih tinggi, antara 1:12.500 hingga 1:67.000 kelahiran. Sedangkan di bagian lain dunia, kejadian penyakit ini lebih jarang, hingga 1:100.000 hingga 1:1.000.000 kelahiran.

Masih belum ada data yang valid di Asia, karena belum pernah dilakukan survei nasional. Pada akhir tahun 1990, terdapat 36 kasus di Jepang.

Di Indonesia, pada 6 kasus yang saat ini masih bertahan, semua dideteksi oleh tim dari jejaring Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di bawah Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSCM yang diketuai oleh Prof. DR. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), yang kerap dipanggil Prof Damayanti.

Sebagai seorang pakar kelainan genetik, beliau menekankan gejala tertentu yang perlu segera diperhatikan supaya dapat secepat mungkin dicari diagnosis penyakit dan terapinya. Gejala tersebut antara lain adalah kejang terus-menerus yang tidak respon dengan pengobatan biasa dan kemunduran perkembangan.

Apabila anak yang sebelumnya bisa berlari dan berjalan kemudian menjadi tidak bisa, salah satu penyebab yang harus dipikirkan adalah kelainan genetik yang kemudian menyebabkan penyakit metabolik.

Terapi enzim

Secara umum, penyakit metabolik berarti terdapat kegagalan suatu reaksi dalam tubuh untuk mengubah suatu zat asal menjadi zat produk karena kekurangan zat pengubah (enzim) yang dibutuhkan untuk reaksi tersebut. Gejala dari penyakit metabolik disebabkan akibat kelebihan zat asal atau kekurangan zat produk dalam tubuh.

Pada kasus pasien dengan Batten disease seperti Syafa, kelainan genetik yang dialami menyebabkan otaknya kekurangan enzim yang penting untuk mengubah zat yang bersifat toksik sehingga zat tersebut menumpuk.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com