KOMPAS.com – Drama korea The World of the Married tengah digandrungi banyak orang, termasuk di Indonesia. Bahkan di Korsel sendiri, The World of the Married mencatat rekor baru dengan rating penonton tertinggi dalam sejarah TV kabel negara tersebut.
Drama ini bercerita tentang perselingkuhan dari keluarga bahagia Lee Tae Oh dan Ji Sun Woo. Saat menonton, tak sedikit orang yang merasa emosi akibat konflik yang dimunculkan oleh para pemeran dalam drama tersebut.
Psikolog Anak dan Keluarga Astrid W.E.N mengatakan sebuah drama korea atau film layaknya bacaan bagi otak. Lewat film, kita mendapatkan persepsi baru mengenai berbagai macam situasi sosial.
“Bagaimana kemudian kita mengolahnya, apakah akan menjadi masukan yang bermanfaat bagi kita, sebuah hiburan, atau hanya menimbulkan ketakutan saja,” tutur Astrid kepada Kompas.com, Senin (4/5/2020).
Ia mengatakan bahwa kita perlu peka terhadap dampak sebuah film bagi diri kita sendiri.
Baca juga: Remaja Pembunuh Balita di Sawah Besar, Seberapa Pengaruh Film dalam Aksi Sadisnya?
“Bahwa drakor The World of the Married itu mampu mewakili sebagian perasaan orang sehingga dirasakan sangat representatif, bisa saja. Buat sebagian orang menonton drakor itu mungkin akan membantu mereka untuk katarsis,” tambahnya.
Namun, apa yang dialami orang lain belum tentu dialami oleh kita sendiri. Apalagi banyak penonton, terutama wanita, yang menjadi paranoid untuk menikah karena takut diselingkuhi.
“Kasihan kalau gara-gara kita takut, kita jadi tidak mencoba. Lebih baik gagal daripada tidak mencoba,” tutur Astrid.
Astrid menuturkan, rasa takut atau paranoid yang dialami bisa dikelola menjadi pembelajaran antisipasi.
“Kalau misal ini terjadi, sikap apa yang harus saya lakukan. Kalau begini bagaimana, kalau begitu harus apa. Akhirnya bicara tentang prinsip-prinsip yang kita pegang, maunya bagaimana. Lalu jalani sambil menikmati,” tambahnya.
Baca juga: Bahaya Self Diagnosis di Balik Popularitas Film Joker
Namun jika kita masih dirundung ketakutan untuk menikah akibat menonton drakor tersebut, Astrid menyarankan untuk berkonsultasi ke ahli atau psikolog.
Ahli bisa membantu untuk mencatat apa saja ketakutan yang dialami. Kemudian, dirunutkan dari ketakutan yang paling besar.
“Ini berkaitan dengan skala ketakutan. Biasanya, orang yang mudah takut punya masalah kecemasan tinggi secara general,” tuturnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.