Kepatuhan orangtua tampaknya meningkat jika sekolah diliburkan.
Di lain pihak, terdapat literatur yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak bekerja atau berupah rendah lebih patuh terhadap upaya kekarantinaan.
2. Pengetahuan tentang wabah dan aturan kekarantinaan
Pengetahuan merupakan faktor yang secara konsiten mempengaruhi kepatuhan.
Kepatuhan berasosiasi dengan pengetahuan tentang aturan karantina yang diberlakukan dan tentang wabah yang terjadi.
Namun kredibilitas sumber informasi perlu menjadi perhatian.
3. Sosiokultural: norma, nilai, dan hukum
Faktor sosiokultural juga kuat mempengaruhi kepatuhan.
Tekanan sosial dapat menjadi faktor pendukung maupun penghalang kepatuhan. Nilai budaya dan kepatuhan terhadap hukum juga berhubungan dengan kepatuhan.
Upaya karantina yang jelas memiliki konsekuensi hukum lebih dipatuhi daripada yang bersifat suka rela.
4. Persepsi terhadap keuntungan mematuhi karantina
Persepsi yang positif terhadap manfaat karantina meningkatkan kepatuhan.
Dalam satu artikel, persepsi ini diperkuat dengan terlihatnya pengurangan kasus penyakit.
5. Persepsi terhadap risiko terdampak wabah
Semakin seseorang merasa berisiko untuk terserang penyakit, semakin tinggi kepatuhan.
Persepsi risiko bisa meningkat ketika ada anggota keluarga yang terkena.
Persepsi risiko juga meningkat pada gelombang kedua wabah, mungkin karena telah terjadi peningkatan pengetahuan tentang penyakit dan aturan upaya kekarantinaan.
6. Alasan praktis
Ketakutan akan kehilangan mata pencarian menurunkan kepatuhan terhadap upaya karantina.
Selain urusan-urusan emergensi, urusan keluarga (seperti keluarga yang sakit) juga mendorong orang melanggar upaya kekarantinaan.
7. Kepercayaan terhadap sistem kesehatan