Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal IPAG60, Teknologi Pengolah Air Gambut Jadi Air Bersih

Kompas.com - 03/04/2020, 17:04 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Lahan gambut tidak hanya jadi persoalan saat terjadi kebakaran lahan dan hutan di musim kemarau, tetapi air lahan gambut juga menjadi masalah jika digunakan untuk sanitasi.

Setiap individu pasti membutuhkan air dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak hanya untuk minum, tetapi juga untuk mencuci, masak, mandi dan kebutuhan lainnya.

Dijelaskan oleh Executive Director of Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) - UNESCO Category II Centre, Prof Dr Ignasius DA Sutapa MSc, kebutuhan manusia akan air minum cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan sanitasi lainnya.

Setiap individu setidaknya membutuhkan air minum sekitar 2 sampai 2,5 liter per hari. Namun, kebutuhan sanitasi bisa mencapai 150-200 pwr hari.

Hal ini tidak menjadi persoalan jika semua daerah, dan setiap individunya mendapatkan air bersih untuk sanitasi sehari-hari.

Baca juga: Desa Pulutan Terletak di Jawa, Kok Bisa Kurang Air Bersih?

"Bagaimana dengan remote area (daerah tertinggal) yang sulit air bersih?," kata Ignasius kepada Kompas.com, Kamis (2/4/2020).

Di daerah yang tertinggal, bahan baku air yang tidak bersih atau di bawah standar masih banyak digunakan, seperti air gambut, payau, banjir dan sungai tercemar.

Air gambut

Warga di sekitar daerah yang lahannya bergambut pasti menggunakan aliran air gambut jika memanfaatkan air tanah, entah melalui sumur tradisional ataupun sumur bor.

"Air gambut masih digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Padahal, warnanya cokelat kehitaman. Meski ini air alami, tapi dikategorikan air marginal untuk kebutuhan sehari-hari," ujar dia.

Marginal yang dimaksudkan oleh Ignasius adalah air tersebut masuk dalam air baku yang di bawah standar bersih untuk sanitasi dan konsumsi.

Ironisnya, penggunaan air gambut dengan kualitas buruk dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti gigi keropos, kulit gatal-gatal hingga gangguan ginjal dan penyakit lainnya.

Baca juga: Indonesia dan 5 Negara Asia Diprediksi Terendam Air Laut pada 2050

Sementara itu, krisis sumber air bersih masih banyak dirasakan di beberapa wilayah, seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua yang memaksa masyarakat menggunakan air gambut.

Selain itu, diakui Ignasius, air gambut menjadi jenis air baku marginal kedua yang paling sulit diolah setelah air gambut dan payau.

Air baku marginal membutuhkan treatment atau pengolahan agar bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kebutuhan sehari-hari tanpa menimbulkan kekhawatiran lainnya. Sementara itu, pengolahan juga tidak bisa sembarangan dilakukan.

Teknologi IPAG60

Ignasius yang juga peneliti di Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan teknologi IPAG60 yang dapat mengolah jenis air gambut dan non gambut berkualitas buruk menjadi layak guna dan layak konsumsi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com