Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Masa Depan Zoologi di Indonesia?

Oleh : Evy Arida

POPULARITAS suatu bidang ilmu di kalangan masyarakat secara luas dapat diindikasikan dari pilihan jurusan atau program studi di perguruan tinggi.

Dapat dihitung dengan jari, perguruan tinggi di Indonesia yang menyediakan pilihan jurusan zoologi atau bahkan program studi biologi.

Ketersedian jurusan atau program studi di bidang ilmu dasar hewani yang terbatas di kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia ini pun menyiratkan minat studi masyarakat Indonesia.

Zoologi sebagai ilmu dasar mulai berkembang di abad ke-16 dengan munculnya buku “Historiae Animalium” yang ditulis oleh Conrad Gesner (1516 – 1565), seorang dokter dan guru besar di suatu lembaga yang kini dikenal sebagai Universitas Zurich, Swiss.

Jauh sebelumnya, Aristoteles (384 – 322 SM) juga mengemukakan pengamatannya terhadap berbagai kelompok hewan dalam buku dengan judul yang sama.

Gesner mengkompilasi informasi dari berbagai sumber klasik, termasuk buku yang ditulis Aristoteles dan Plinius Tua (Gaius Plinius Secundus), yaitu Naturalis Historia.

Buku Gesner terdiri dari lima volume yang meliputi topik bahasan hewan yang melahirkan anaknya, hewan yang bertelur (termasuk reptil dan amfibi), burung, ikan dan fauna akuatik, serta hewan berbisa/beracun (termasuk ular dan kalajengking).

Tradisi mempelajari fauna tampaknya berasal dari Eropa, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan tentang fauna juga dimiliki bangsa Indonesia.

Relief candi Borobudur menggambarkan pengetahuan masyarakat di abad ke-8 tentang berbagai jenis satwa pada kelompok hewan menyusui (mamalia), burung, reptil, dan ikan.

Namun seiring berkembangnya peradaban nusantara dan terbentuknya Republik Indonesia, pengetahuan dan ilmu yang menguak rahasia alam berupa kehidupan satwa nusantara kurang menjadi minat generasi akademisi yang cenderung tinggal di daerah urban.

Sebaliknya, masyarakat yang kurang beruntung mendapatkan akses pendidikan di perguruan tinggi justru belajar dari alam secara otodidak dengan melanjutkan tradisi pemanfaatan dan pelestarian fauna sebagai kearifan lokal.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, pengetahuan tentang hewan diarahkan untuk kepentingan pemanfaatan satwa khususnya di bidang pertahanan dan pertanian.

Kuda didatangkan dan dikembangbiakkan untuk mendukung transportasi pasukan militer pemerintah kolonial, sedangkan sapi Benggala dimanfaatkan sebagai tenaga kerja di perkebunan.

Pengaturan pemanfaatan ternak sapi dimulai pada tahun 1836, yaitu dengan pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Selanjutnya pengelolaan peternakan dan kesehatan hewan ditangani oleh pemerintah secara kelembagaan.

Masyarakat pecinta alam di masa pemerintahan kolonial Belanda di awal abad ke-20 menyatakan keprihatinan dan melakukan tekanan terhadap pemerintah di kala itu untuk mengatur perlindungan terhadap berbagai jenis hewan, khususnya burung cenderawasih.

Pada tahun 1912 di Bogor para naturalis Belanda itu membentuk perkumpulan “Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming” yang memelopori pembuatan peraturan pemerintah dan menuliskan hasil penelitian tentang perlindungan jenis satwa dan tumbuhan.

Pendidikan tinggi biologi di Indonesia secara resmi telah dimulai sejak tahun 1947 dengan berdirinya Fakulteit van Exacte Wetenschap di Bandung dan terbentuknya Seksi Zoologi yang seluruh tenaga pengajarnya berasal dari Eropa (Denmark, Belanda, dan Swiss).

Doktor pertama bidang zoologi yang berkewarganegaraan Indonesia adalah Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja yang lulus pada tahun 1956 dari Universitas Bonn, Jerman.

Beliau dikukuhkan sebagai guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1961 dan melanjutkan karir sebagai Rektor ITB, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Hingga kini, jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang menawarkan program studi zoologi masih dapat dihitung dengan jari.

Mata kuliah zoologi dasar yang mengajarkan ilmu untuk mengkaji fauna Indonesia baik dari segi keanekaragamannya, anatomi, perilaku, ekologi, maupun pelestariannya pun tampaknya secara umum tidak cukup berkembang sejak tahun 1950an.

Meskipun zoologi dapat dikaitkan dengan bidang-bidang terapan, seperti halnya pemanfaatan satwa sebagai komoditas perdagangan dan kesehatan, minat masyarakat untuk terjun di bidang ilmu hewan baik sebagai periset maupun praktisi terapannya relatif kurang.

Jika boleh dibandingkan dengan minat studi generasi muda Indonesia di bidang keteknikan atau ilmu-ilmu sosial humaniora, bisa diperkirakan bahwa paling tidak terdapat 100 calon mahasiswa teknik di jurusan tertentu untuk setiap satu calon mahasiswa dengan peminatan zoologi.

Bahkan boleh jadi terdapat 200 orang calon untuk peminatan bidang studi komunikasi misalnya, untuk seorang peminat studi zoologi.

Jumlah total keanekaragaman fauna Indonesia sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang menyelenggarakan program studi zoologi, seperti misalnya Australia, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Swedia, Jerman, dan Singapura.

Keberadaan departemen zoologi di kampus-kampus universitas negeri di negara-negara ini mengindikasikan minat masyarakat yang cukup baik terhadap bidang ilmu dasar hewani ini.

Meskipun keanekaragaman hayati khususnya fauna di negara-negara tersebut jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kekayaan fauna yang terdapat di Indonesia, tradisi riset fauna berkembang dan tetap terjaga.

Sebagai contoh, Department of Zoology di Universitas Cambridge dimulai dengan riset tentang sirkulasi darah dan pertumbuhan anak ayam.

Selama proses perkembangannya selama 430 tahun, zoologi di kampus tua ini mencatat peristiwa-peristiwa monumental seperti terbentuknya koleksi tulang dan spesimen utuh berbagai jenis burung, di antaranya adalah koleksi Charles Darwin yang berasal dari perjalanannya ke Amerika Selatan dan melintasi benua melalui Australia dan Selandia Baru pada rentang tahun 1831 - 1836.

Tradisi kepakaran di bidang zoologi, khususnya anatomi dan morfologi hewan terjaga dengan diangkatnya guru-guru besar di bidang ini sebagai kepala departemen secara silih berganti, juga pengembangan infrastruktur prasarana pendidikan tinggi dan riset di dalamnya.

Bidang kepakaran zoologi yang khusus mempelajari perilaku hewan pun mulai berkembang pada tahun 1960 di kampus ini dan telah menghasilkan lulusan-lulusan dengan nama besar di bidang perilaku primata seperti Jane Goodall dan Dian Fossey.

Tradisi kepakaran zoologi berlanjut dan meluas ke bidang ekologi dan biologi evolusi sejak tahun 2008.

Pada tahun 2012, Profesor John Gurdon dianugerahi Hadiah Nobel di bidang Fisiologi dan Kedokteran atas hasil risetnya bersama Shinya Yamanaka dari Universitas Kyoto, Jepang, tentang kloning katak badut afrika, Xenopus laevis dari inti sel somatik.

Barangkali sebagian dari masyarakat kita di Indonesia mengenal David Attenborough dari acara televisi tentang sejarah alam fauna yang diproduksi oleh stasiun televisi nasional Inggris, British Broadcasting Corporation (BBC).

David yang mendarmabaktikan karirnya sebagai penyiar dan di bidang produksi filem dokumenter tentang konservasi satwa ini mulai tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Cambridge pada tahun 1945.

Atas capaiannya di bidang sains, pendidikan, dan seni, Ratu Elizabeth II dan Pangeran Charles dari Wales menghadiahkan gelar bangsawan kehormatan kepadanya, masing-masing pada tahun 1985 dan 2022. Hal ini mengisyaratkan dukungan negara terhadap diseminasi ilmu dasar kepada masyarakat secara luas.

Zoologi tidak menjadi bidang populer di Indonesia karena secara alamiah proporsi pecinta dan pemerhati hewan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh populasi manusia di dunia.

Secara historis, faktor eksploitasi sumberdaya alam hewani di masa kolonial dan faktor ketersediaan sumberdaya yang melimpah sejak dua abad yang lalu cenderung menegasi kepentingan untuk mempelajari fauna Indonesia secara mendalam dan menggali potensi keanekaragaman dan kemanfaatannya.

Terlebih lagi, zoologi adalah ilmu dasar yang cukup sulit untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari, pun sebagai bangsa yang telah cukup lama berdaulat atas kekayaan keanekaragaman hayatinya.

Tanpa keberadaan kaum cerdik cendekia yang mampu menerobos kondisi status quo tersebut di atas, sulit rasanya membalik keadaan sehingga generasi muda terinspirasi.

Dukungan negara terhadap para cerdik cendekia pun diperlukan untuk mewujudkan potensi keilmuan fauna nasional sebagai simbol kemajuan pembangunan intelektual manusia Indonesia.

Evy Arida
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan - BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/07/18/150000223/bagaimana-masa-depan-zoologi-di-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke