Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

5,3 Miliar Ponsel Jadi Sampah Elektronik di Tahun 2022

KOMPAS.com - Lebih dari lima miliar atau 5,3 miliar dari 16 miliar ponsel yang dimiliki di seluruh dunia akan berakhir dibuang menjadi sampah elektronik pada tahun 2022 ini.

Jika ditumpuk di atas satu sama lain, gawai bekas itu tingginya bisa mencapai 50.000 Km atau seratus kali lebih tinggi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional berada.

Temuan tersebut, seperti dikutip dari Phys, Jumat (14/10/2022) merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh WEE, asosiasi nirlaba yang mewakili 46 organisasi produsen yang bertanggung jawab.

Meski ponsel-ponsel pintar mengandung emas, tembaga, perak, paladium, dan komponen daur ulang lainnya yang berharga, hampir semua perangkat yang tak dinginkan ini akan ditimbun, dibuang, atau dibakar, yang akan berdampak pada kesehatan dan lingkungan yang signifikan.

Seruan untuk melakukan lebih banyak daur ulang dari bahan-bahan yang berbahaya pada ponsel pintar itu pun terus dilakukan.

"Smartphone (ponsel pintar) adalah salah satu produk elektronik yang menjadi perhatian utama (permasalahan sampah elektronik) kami. Dan jika tak mendaur ulang bahan-bahan itu, kita harus menambangnya di negara-negara seperti China atau Kongo," kata Pascal Leroy, Direktur Jenderall Forum WEE.

Menurut Global E-waste Monitor 2020, ponsel yang mati hanyalah puncak dari 44,48 juta ton limbah atau sampah elektronik global yang dihasilkan setiap tahun yang tak tidak di daur ulang.

Menurut survei di enam negara Eropa, dari Juni hingga September 2022, lebih dari 5 miliar ponsel tidak akan terpakai dan orang-orang memilih untuk menyimpan alih-alih membawanya untuk diperbaiki atau didaur ulang. Ini tentu saja berpotensi menjadi sampah elektronik.

Lebih lanjut, setidaknya ada sekitar 5 Kg perangkat elektronik yang ditimbun oleh rata-rata keluarga Eropa.

Temuan baru terkait sampah-sampah elektronik ini juga mengungkapkan bahwa 46 persen dari 8.775 rumah tangga yang disurvei, berpikir untuk menyimpan peralatan elektronik, termasuk ponsel mereka karena ada kemungkinan akan digunakan di masa depan.

15 persen lainnya menimbun gadget mereka dengan tujuan untuk menjual atau memberikannya. Sedangkan 13 persen menyimpannya karena punya nilai sentimental.

"Tapi sampah elektronik tak akan mudah dikumpulkan secara sukarela. Itu sebabnya undang-undang sangat penting," kata Leroy.

Salah satu contohnya adalah parlemen Uni Eropa baru-baru ini mengesahkan undang-undang baru yang mengharuskan USS-C menjadi standar pengisi daya tunggal untuk semua ponsel atau smartphone, tablet, dan kamera baru mulai akhir 2024 nanti.

Langkah ini diharapkan menghasilkan penghematan tahunan dan memotong lebih dari seribu metrik ton limbah elektronik di UE setiap tahun.

Menurut Kees Balde, Spesialis Ilmiah Senior di United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), undang-undang di Eropa itu telah mendorong tingkat pengumpulan limbah elektronik yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dunia lainnya.

"Di tingkat Eropa, 50-55 persen limbah elektronik dikumpulkan atau di daur ulang. Sementara negara-negara berpenghasilan rendah, perkiraan daur ulang turun hingga di bawah 5 persen dan kadang bahkan di bawah 1 persen," kata Balde.

Sayangnya, pada saat yang sama pula, ribuan ton sampah elektronik dikirim dari negara kaya, termasuk anggota Uni Eropa, ke negara berkembang setiap tahun sehingga menambah beban daur ulang negara tersebut.

Keterbatasan dana seringkali menjadi penyebab kurangnya penanganan limbah elektronik dengan aman.

Padahal zat berbahaya seperti merkuri dan plastik dapat mencemari tanah, air, dan memasuki rantai makanan, seperti yang terjadi di dekat tempat pembuangan limbah elektronik di Ghana.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/10/15/090200423/5-3-miliar-ponsel-jadi-sampah-elektronik-di-tahun-2022

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke