Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Viral Pria Tendang Sesajen di Gunung Semeru, Dosen Filsafat: Sesaji adalah Tradisi

KOMPAS.com - Sebuah video yang menampilkan seorang pria menendang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur baru-baru ramai diperbincangkan warganet.

Pasalnya, dalam video viral yang diunggah sejak Selasa, (11/1/2022) terlihat pria tersebut melakukan aksinya dengan membuang serta menendang sesajen, kemudian menyampaikan pendapat pribadinya terkait sesaji tersebut.

“Ini yang membuat murka Allah, jarang sekali disadari bahwa inilah yang mengundang murka Allah hingga menurunkan azabnya," kata berinisial HF itu.

Diberitakan Kompas.com, Sabtu (15/1/2022) perwakilan dari GP Ansor telah melaporkan pelaku dengan dugaan tindak pidana ke Polres Lumajang.

Mereka melaporkan HF dengan pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian dan penghinaan terhadap suatu golongan.

Kemudian, pada Kamis (13/1/2022) sekitar pukul 22.40 WIB penendang sesajen di lokasi gunung semeru ditangkap polisi di rumahnya di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Menurut keterangan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim Kombes Totok Suharyanto, motif sementara HF melakukan aksinya karena tradisi sesajen tidak sesuai dengan apa yang dia yakini.

Terkait dengan aksi pria tendang sesajen di Gunung Semeru, Dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Sartini mengungkapkan bahwa dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, tradisi sesajen kerap diartikan sebagai bentuk persembahan.

Persembahan ini biasanya ditujukan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, nenek moyang, maupun makhluk gaib. Dia menambahkan, tradisi sesaji atau sesajen sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Buddha di Indonesia.

“Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri,” ujar Sartini dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/1/2022).

Berkaitan dengan kepercayaan

Dijelaskan Sartini, di Jawa sesaji disebut dengan uborampe yang berarti kelengkapan.

Sementara, jika sesaji dianggap sebagai tradisi di Lumajang, kemungkinan saja orang tersebut menganggap Gunung Semeru sebagai makhluk yang memiliki kekuatan dan berharap agar gunung ini tidak 'murka' lagi.

“Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan, agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,” paparnya.

Lebih lanjut dia berkata, kepercayaan tentang animisme dan dinamisme di Indonesia merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta.

Roh sendiri dapat berupa orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, maupun leluhur. Selain itu, bagian dari alam, benda, tumbuhan, serta hewan juga sering kali dianggap memiliki roh dan kekuatan besar.

Sehingga masyarakat setempat meyakini gunung atau laut harus dihormati keberadaannya, dan kepercayaan ini pun mungkin masih dianut di berbagai wilayah, termasuk di Lumajang.

"Makhluk ini juga dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu, sehingga juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya," kata Sartini.

"Tradisi membuat sesaji dapat menjadi bagian bentuk masih adanya kepercayaan tersebut. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama makhluk yang tidak kelihatan tersebut. Melakukan sesaji adalah salah satu caranya,” sambung dia.

Sartini menuturkan, di agama Islam fenomena sesajen memunculkan banyak penafsiran. Pandangan utamanya yaitu sesajen yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah, hukumnya haram atau dilarang.

Kendati demikian, beberapa pandangan lainnya memperbolehkan memberikan sesajen, di mana hal itu mungkin hanya dipandang sebagai tradisi, dan niat permohonannya tetap ditujukan kepada Allah.

“Masalahnya adalah, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Ini lah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial,” jelas Sartini.

Dia menilai keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesaji merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Dalam kelompok yang menyesuaikan agama dan tradisi, mungkin dilakukan dengan menyosialisasikan makna simbolnya.

Tradisi ini bertujuan agar orang tidak memahaminya sebagai mitos atau kepercayaan semata, yang apabila tidak dilakukan maka akan menyebabkan hal-hal tertentu.

“Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan bahkan materialistik,” terang Sartini.

Di samping itu, ia mengatakan bahwa kelompok beragama perlu banyak berdialog serta bertemu satu sama lain untuk menumbuhkan empati.

“Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya,” pungkas Sartini.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/16/163000723/viral-pria-tendang-sesajen-di-gunung-semeru-dosen-filsafat--sesaji-adalah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke