Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gangguan Mata Minus Meningkat Selama Pandemi Covid-19, Kok Bisa?

KOMPAS.com- Pandemi Covid-19 disebutkan turut andil dalam meningkatkan kasus miopia atau gangguan mata minus, termasuk pada anak-anak.

Studi di China baru-baru ini memperlihatkan bahwa selama 2020, anak usia 6-8 tahun ternyata 3 kali lipat lebih rawan terkena miopia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Padahal, sebelum adanya pandemi Covid-19 sekalipun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksikan 40 persen dari populasi dunia yaitu sekitar 3,3 miliar orang akan menderita miopia pada 2030.

Bahkan, masih dari prediksi WHO bahwa lebih dari setengah penduduk dunia, 4,8 miliar orang, diproyeksi menderita miopia pada tahun 2050 mendatang.

Mata minus atau disebut dengan miopia terjadi karena cahaya yang masuk ke dalam mata jatuh di depan retina mata.

Kondisi miopia bisa dipicu oleh panjang bola mata yang bertambah atau kemampuan mata dalam memfokuskan cahaya, sehingga objek yang jauh terlihat buram.

Ketua Layanan JEC Myopia Control Care, Dr Gusti G Suardana SpM(K) mengatakan bahwa sebenarnya faktor risiko terbesar utama seorang anak menderita miopia adalah genetik atau riwayat keturunan keluarga.

Tetapi, di samping genetik, Gusti menyebutkan bahwa faktor risiko miopia lainnya adalah gaya hidup.

Salah satunya adalah lebih sedikit waktu di luar ruangan dan lebih banyak waktu menatap layar gawai menjadi pemicu.

"Tak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 mengubah perilaku masyarakat. Aktivitas di luar ruangan jauh berkurang, sementara kelekatan terhadap gawai berlayar semakin tinggi," kata Gusti dalam diskusi virtual JEC Media Launch: Myopia Control Care, The First Comprehensive Myopia Management in Indonesia, Selasa (23/2/2021).

Seperti diketahui, penularan transmisi virus corona SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19 yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia menjadikan ruang gerak dan aktivitas terbatas. Kondisi ini memberi dampak pada gangguan mata minus yang mulai dialami banyak orang.

Alhasil, pertemuan tatap muka baik dalam persoalan kerja maupun pembelajaran sekolah juga dibatasi dan beralih melalui virtual atau daring.

"Anak-anak belajar jarak jauh secara daring, sedangkan kelompok dewasa juga bertumpu pada gadget untuk bekerja dan bersosialisasi. Artinya, semua kalangan usia semakin berpotensi terserang miopia," ujarnya.

Dampak dan gejala gangguan mata minus

Gusti mengingatkan agar orang dengan gangguan mata minus atau miopia haruslah segera ke rumah sakit atau klinik khusus mata agar mendapatkan tindakan dan penanganan menyeluruh yang tepat.

Sebab, bukan hanya saja membuat penderitanya tak nyaman ketika beraktivitas, tetapi jika tidak diatasi segera maka miopia bisa menyebabkan komplikasi lanjutan. Diantaranya sebagai berikut.

  • Mata malas
  • Katarak
  • Glaukoma
  • Retina lepas

"Bahkan, ada kondisi miopia yang bisa sampai mengalami komplikasi kebutaan," ucap dia.

Oleh karena itu, ia mengimbau untuk mewaspadai beberapa gejala miopia yang terkesan remeh dan cenderung banyak tidak disadari. Antara lain:

  • Sering memicingkan mata saat melihat
  • Kesulitan memandang jauh ketika berkendara
  • Sering mendekatkan mata ke layar TV atau ponsel
  • Mata terasa lelah dan tegang
  • Kerap mengucek mata

"Pemeriksaan mata secara berkala, minimal 6 sampai 12 bulan sekali menjadi kunci (mengatasi gangguan mata minus atau miopia agar tidak komplikasi)," tuturnya. 

https://www.kompas.com/sains/read/2021/03/04/172800723/gangguan-mata-minus-meningkat-selama-pandemi-covid-19-kok-bisa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke