PANDEMI yang berlangsung hampir genap dua tahun telah membawa banyak pengalaman baru, termasuk pola kerja.
Working from home atau WFH hal yang familiar dalam 21 bulan terakhir. Pola ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar di Indonesia namun juga di seluruh dunia.
WFH, berdasarkan sejarahnya telah dimulai sejak tahun 1970-an. Kondisi traffic apocalypse telah menginspirasi Jack Niles untuk mengemukakan wacana mirip seperti WFH saat ini, yaitu bekerja lebih dekat dengan rumah.
Niles mengemukakan konsep telecommuting sebagai opsi alternatif dalam menjawab kemacetan dan kepadatan di perkotaan.
Wacana ini sejalan dengan penemuan satelit untuk teknologi internet dan komunikasi.
Namun Niles menyebutkan, telecommuting tidak hanya terkait implementasi teknologi, juga pengelolaan pola dan budaya kerja.
Pandemi telah membuat pola ini kembali semakin populer.
Pada pertengahan tahun 2020, survei Knight Frank Indonesia terkait WFH mengungkapkan beberapa pandangan, di antaranya dominasi preferensi pekerja (68 persen) untuk kembali ke kantor dengan pola hybrid di tengah pandemi.
Tidak sedikit (55 persen) juga yang menyebutkan bahwa kehadiran di kantor bertemu kolega mampu membawa optimisme kerja.
Sementara itu, dalam publikasi Knight Frank Global terungkap, 80 persen pekerja di Inggris sangat senang kembali ke kantor dan merindukan berinteraksi dengan koleganya.
Namun pada survei lainnya terungkap bahwa 46 persen pekerja di Inggris mengaku gugup untuk kembali mengingat kerumuman yang umumnya terjadi di kantor.
Di Amerika Serikat, 86 persen pekerja menyebutkan bahwa kolaborasi dengan tim adalah alasan utama ingin kembali ke kantor.
Masih dari publikasi Knight Frank Global, kantor secara fisik masih sangat diperlukan untuk mengelola kegiatan.
Dengan keberadaan kantor, maka pekerja dapat berinteraksi dengan komunitasnya secara langsung, melihat ekspresi dari supervisornya beserta intonasi suara, mimik muka dan gestur untuk menginterpretasikan urgensi dari arahannya.
Selain itu, dengan kolaborasi di kantor maka pekerja merasa dilihat, dihargai, dan dapat mengasah jiwa kreatif dan inovasi melalui kompetisi yang sehat, sehingga mampu meningkatkan produktivitas.