JIKA dibaca sekilas, strategi dan masterplan pariwisata mempunyai kaitan amat erat. Untuk awam bisa sama, bahkan mirip.
Namun, di dalam konteks birokrasi Indonesia menjadi amat sangat berbeda. Salah mengartikan, bisa fatal. Karena tupoksi, anggaran, dan siapa yang menyusun, ternyata berbeda-beda.
Indonesia, zamrud katulistiwa dengan pesona dan modal kecantikan destinasinya, harus punya strategi jitu dalam mengembangkan sektor ini.
Persaingan kelas dunia, dan kekhasan atraksi, membuat strategi pariwisata Indonesia niscaya harus bervisi kelas dunia.
Persis satu tahun lalu di Davos, di sela-sela World Economic Forum (WEF) 2020, saya sempat berbincang dengan rekan dari Swiss berkaitan dengan peluang pariwisata Indonesia.
Dengan posisi ke-40 pada 2019 dalam Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dilansir WEF, Indonesia memang harus bisa meningkatkan kualitas destinasi sesuai segmen pasar dan minat turis dunia.
Saya pernah menulis sebelumnya, mencerna tantangan pengembangan pariwisata itu seperti mencoba menelusuri kompleksitas anggur merah.
Perlu cita rasa, pengetahuan yang senantiasa terasah, dan "nose" atau insting kepekaan yang digunakan mencocokkan dengan konsumen sesuai karakternya.
Kekhasan atraksi, pengembangan destinasi kelas dunia, dan peningkatan pelayanan, jasa dan industri pendukung, harus dikembangkan melalui strategi yang visioner.
Saya pun yakin strategi itu-lah yang menjadi basis pemikiran Presiden Joko Widodo mencanangkan 10 destinasi prioritas yang akan difokuskan pengelolaannya oleh pemerintah.
Ke-10 destinasi itu adalah Mandalika, Nusa Tenggara Barat; Pulau Morotai, Maluku Utara; Tanjung Kelayang, Kepulauan Bangka Belitung, dan Danau Toba, Sumatera Utara.
Kemudian Wakatobi, Sulawesi Tenggara; Borobudur, Jawa Tengah; Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; Tanjung Lesung, Banten; Bromo, Jawa Timur; dan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Namun, sebuah strategi nasional pariwisata pun kemudian bermetamorfosa melalui hanya sekadar branding 10 Bali Baru.
Sebuah kesalahan positioning yang fatal. Karena melakukan personifikasi Bali pada destinasi lain yang memiliki endowement atraksi masing-masing, membuat pencarian "nyawa" pesan ke market dunia menjadi macet.
Situasi fatal ini bahkan terus berlanjut. Kembali ke judul tulisan ini, maka Rencana Strategis Pariwisata seharusnya adalah penerjemahan dan cascaded value proposotion dari brand parwisata Indonesia. Ternyata, ini tidak dilakukan.