Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nasib Hotel Sultan di Tangan Menteri ATR/Kepala BPN Baru

JAKARTA, KOMPAS.com - Konflik kepemilikan lahan tempat berdirinya Hotel Sultan memasuki babak baru setelah Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) buka suara terkait hal ini.

AHY mengatakan, permasalahan lahan Hotel Sultan telah dibawanya ke dalam pertemuan dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Selasa (5/3/2024).

Bahkan, AHY melakukan koordinasi dengan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto dan mengadukan masalah ini ke Presiden Joko Widodo.

Ucap AHY, keadilan tidak boleh bersifat diskriminatif dan memihak. Namun tentu, tidak boleh merugikan negara.

Namun demikian, banyak faktor yang tetap menjadi pertimbangan, yakni seperti nasib para karyawan Hotel Sultan.

"Tapi kita tahu ada faktor-faktor lain yang perlu kita ketahui dampaknya seperti apa, terutama bagi para pekerja yang ada di sana," ucap AHY.

Tanggapan Pontjo Sutowo

Terkait hal ini, Kuasa Hukum PT Indobuildco, perusahaan milik Pontjo Sutowo selaku pengelola Hotel Sultan, Hamdan Zoelva memberikan tanggapan singkat.

"Saya belum dengar, belum terinfo," ucap Hamdan Zoelva melalui pesan singkat kepada Kompas.com.

Adapun konflik lahan Hotel Sultan masih bergulir di pengadilan setelah PT Indobuilco menggugat pihak pemerintah ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 9 Oktober 2023 dengan nomor perkara 667/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst.

Terdapat empat pihak yang digugat, yakni Menteri Sekretaris Negara, Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPK GBK), Menteri ATR/Kepala BPN, dan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat.

Selain itu, Pontjo Sutowo juga melaporkan PPK GBK secara langsung ke Mabes Polri karena telah memasang portal di pintu masuk Hotel Sultan.

Ini belum termasuk gugatan yang dilayangkan oleh PT Indobuildco ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk Menteri ATR/Kepala BPN, Direktur Utama PPK GBK, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta.

Ditemui pada kesempatan berbeda, Pontjo Sutowo menyebut Hotel Sultan adalah produk yang semestinya dihargai.

Pasalnya, Hotel Sultan telah berdiri sejak tahun 1973 atau telah berusia 50 tahun. Oleh karena itu, dirinya menyesalkan lahan tempat berdirinya Hotel Sultan tersebut menjadi sengketa.

"Kalau kita lihat hotel-hotel di Indonesia mana sih yang tahan 50 tahun, semua sudah enggak jelas. Ini produk yang mestinya dihargai dong," ucap Pontjo Sutowo saat ditemui usai sidang mediasi di PN Jakarta Pusat pada Senin (6/11/2023).

Sebagai informasi, PT Indobuildco telah mengelola Hotel Sultan sejak tahun 1973. Hotel Sultan berada di atas lahan kawasan Gelora Bung Karno (GBK) milik negara dengan total luas 13,6 hektar.

Sehingga dalam hal ini, PT Indobuildco memiliki alas hukum berupa Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora.

Masa kedua HGB tersebut telah berakhir pada 30 tahun pertama, yakni tahun 2003 yang kemudian diperpanjang selama 20 tahun hingga 2023. Kemudian, kedua HGB tersebut kembali berakhir masanya pada 4 Maret 2023 dan 3 April 2023.

Dengan demikian, status tanah tersebut otomatis kembali pada Hak Pengelolaan (HPL) Nomor 1 Tahun 1998 atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia c.q. Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan.

Selanjutnya, PT Indobuildco telah kembali mengajukan permohonan perpanjangan HGB kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DKI Jakarta pada 1 April 2021.

PT Indobuildco mengaku belum menerima surat penolakan atas permohonan tersebut dan sedang dilakukan kajian fisik dan yuridis.

Adapun dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Pernyataan pihak PPK GBK

Kuasa hukum PPK GBK dari Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Chandra Hamzah menceritakan, persoalan ini bermula dari tahun 1958 ketika Indonesia ditetapkan sebagai penyelenggara Asian Games yang pelaksanaannya digelar pada 1962.

Sehingga pemerintah pada masa itu menyiapkan sarana dan prasarana, tak terkecuali membangun Stadion GBK, Istora Senayan, dan lain sebagainya.

Penyiapan sarana prasarana Asian Games dimulai dengan pembentukan Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) yang bertugas dalam pembebasan lahan dari tahun 1959 sampai 1962.

Setelah penyelenggaraan Asian Games selesai, pada 1964 KUPAG menyerahterimakan seluruh tanah, bangunan, dan sarana prasarana eks Asian Games kepada Yayasan Gelanggang Olahraga Bung Karno.

Chandra menegaskan, pembebasan lahan seluas lebih dari 2,5 juta meter persegi tersebut dilakukan dan dibayarkan oleh KUPAG atau negara.

"Setelah dibangun, dibebaskan, diserahkan kepada Yayasan Gelora Bung Karno, itu yang dikelola sampai sekarang. Itu sejarahnya. Hotel Sultan berdiri itu dibebaskan oleh KUPAG, bukan orang lain," tegasnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/5/2023).

Kemudian, pada tahun 1971, ada beberapa hotel yang dibangun di Jakarta secara bersamaan. Salah satunya hotel yang permohonan pembangunannya diajukan oleh Indobuildco kepada Gubernur DKI Jakarta saat itu yakni Ali Sadikin, pada 7 Januari 1971.

Ali pun menyetujui permohonan pembangunan hotel tersebut pada 12 Januari 1971. Namun, dengan syarat kewajiban royalti.

"Kalau kita lihat bayar royalti, artinya Indobuildco beli atas tanah? Tidak. Karena, dia bisa bayar royalti," ujarnya.

Lalu, 15 April 1971, Indobuilco memohon menggunakan tanah dan bangunan untuk membangun hotel kepada Ali.

Setelahnya, 21 Agustus 1971, Ali pun memberikan izin kepada Indobuildco untuk menggunakan tanah dan membangun hotel.

Dua tahun kemudian atau pada Maret 1973, terbitlah HGB nomor 26 dan 27 atas nama Indobuildco. Di mana HGB itu berakhir pada 3 Maret 2023 dan 3 April 2023 setelah 50 tahun kemudian.

"HGB Indobuildco terbit di atas tanah yang dibebaskan Pemerintah, bukan dibebaskan oleh Indobuildco," tandas Chandra.

Namun, pada 31 Oktober 1970, GBK mengajukan permohonan sertifikasi tanah eks Asian Games 1962.

Tujuh tahun setelahnya atau tepatnya 24 Desember 1977, GBK kembali mengajukan permohonan sertifikasi tanah eks Asian Games 1962.

"Mungkin banyak kendala yang waktu itu belum selesai, pembayaran, pengeluaran, dan segala macam. Dua kali mengajukan, dan kemudian baru tahun 1989 sertifikat HPL (1/Gelora) terbit," katanya.

HPL ini diberikan hanya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Kementerian/Lembaga (K/L) atau institusi negara sebagai perwujudan penguasaan negara terhadap seluruh tanah di Indonesia.

Akan tetapi, di atas HPL bisa terbit HGB maupun Hak Pakai (HP) dan lain-lain. HPL adalah kewenangan negara berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Dalam Diktum Keenam Surat Keputusan (SK) Nomor 169 yang merupakan dasar penerbitan sertifikat HPL 1/Gelora, disebutkan bahwa tanah-tanah HGB dan HP yang haknya belum berakhir sebagaimana diuraikan dalam HPL pada saat berakhirnya HGB dan HP tersebut.

"HGB 26/27 berdirinya Hotel Sultan haknya belum berakhir dan kemudian menjadi bagian dari HPL pada saat nanti berkahir. HGB-nya berkahir kapan? April dan Maret tahun 2023, begitu berakhir ini menjadi HPL-nya Kemensetneg cq PPK GBK," jelasnya.

Menurut Chandra, perebutan lahan Hotel Sultan muncul pada tahun 2006 ketika Indobuildco menggugat HPL 1/Gelora atas nama Kemensetneg dalam perkara perdata.

Dari PN, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung (MK), Indobuildco mengajukan Peninjauan Kembali (PK) hingga empat kali.

Lalu, dari PK tersebut kemudian keluar keputusan pada tahun 23 Desember 2011 SK HPL 1/Gelora dinyatakan sah oleh pengadilan dan Indobuildco dihukum untuk membayar royalti.

"Orang membayar royalti, berarti bukan pemilik, orang yang menerima royalti dia adalah pemilik. Sama seperti royalti lagu, atau royalti yang lain," katanya.

Keputusan ini pun telah dieksekusi dan Indobuildco sudah membayar royalti atas putusan tersebut.

"Siapa yang tanda tangan berita eksekusi ini? Yang tanda tangan adalah Direktur Utama PPK GBK waktu itu Winarto dan pihak kedua Direktur Utama Indobuildco (Pontjo Sutowo)," imbuhnya.

Sehingga, pada 8 Desember 2016, Indobuildco melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela dan mengakui HPL 1/Gelora berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan putusan PK.

Kendati demikian, jelang habisnya masa konsesi HGB 26 dan 27, Indobuildco kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor 71/G/2023/PTUN.JKT atas pembatalan SK HPL 1/Gelora pada 27 Februari 2023.

Gugatan itu ditujukan kepada Menteri ATR/Kepala BPN. Selain itu, meminta agar Kakanwil ATR/BPN menerbitkan pembaharuan HGB atas nama Indobuildco yang akan berakhir.

Lalu, PPK GBK mengajukan eksepsi dan jawaban di PTUN Jakarta terkait perkara Nomor 71/G/2023/PTUN.JKT atas tuntutan pembatalan PT Indobuildco terhadap HPL 1/Gelora, pada 22 Mei 2023.

Namun, PTUN menolak gugatan yang diajukan Indobuildco pada 28 Agustus 2023, sehingga pemerintah memenangkan perkara tersebut.

https://www.kompas.com/properti/read/2024/03/08/150000521/nasib-hotel-sultan-di-tangan-menteri-atr-kepala-bpn-baru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke